--> Skip to main content


  

[CERBUNG] Magician of Feliz (Bab 11)

BAB 11: PENCARIAN FLORES DE LA FELICIDAD DAN JASAD EZHAR AL


Baca cerita sebelumnya di:



peta negeri feliz
Peta Negeri Feliz


“Tak ada apapun di sini,” Raven meneliti dengan seksama. Dia mencari sesuatu di bukit berbatu itu. Matahari sore itu memancarkan cahaya berwarna orange. Angin sepoi kadang mehujam pepohonan di atas bukit itu. Sesekali Raven merapikan rambut merahnya yang diguguri dedaunan pohon. Sementara Nabilah yang berada tak jauh darinya terus menatap secarik kertas di tangannya. Kertas itu adalah sobekan halaman dari buku milik putri Pevita. Sobekan yang bertuliskan:

1.      BERJALAN DI ATAS 4 MATA ANGIN DI KETINGGIAN,
2.      MENATAP KELAHIRAN SANG FAJAR DAN BERADA DIUJUNG TANDUK,
3.      KETIKA ARAH JAM 9 DAN SEBUAH PERISTIRAHATAN ABADI,
4.      RUMAH KE 13 DARI GERBANG KEDAMAIAN
5.      PILIHAN YANG TERBAIK HARUS DI DAHULUKAN
6.      DIBALIK UKIRAN NAMA YANG INDAH, S.J.”


Nabilah kemudian menghampiri Raven.

“Petunjuk di poin 1, BERJALAN DI ATAS 4 MATA ANGIN DI KETINGGIAN, sepertinya tidak tepat kalau kita berada di bukit ini,” Nabilah menunjukkan raut wajah heran. “Karena pada petunjuk kedua yang bertuliskan MENATAP KELAHIRAN SANG FAJAR DAN BERADA DIUJUNG TANDUK, semuanya semakin membingungkan. Menurutku menatap kelahiran sang fajar itu seperti menatap ke arah terbitnya matahari, yaitu ke arah timur. Kalau dari bukit ini kita menghadap timur, maka yang kita lihat hanyalah arah jalan menurun ke bawah bukit. Tertutup pepohonan yang sangat rimbun. Tak terlihat ‘tanduk’ atau sesuatu yang runcing, sesuai dengan petunjuk poin kedua itu,” kata Nabilah sambil matanya terus mengamati dengan seksama keadaan di sekitarnya.

Raven kemudian ikut berfikir dan menganalisa. Dia mengusap-ngusap kepalanya yang tertutup rambut berwarna merah miliknya. Dia terlihat seperti seorang anak sekolah yang tengah pusing menjawab soal ujian. Secarik kertas penuh teka-teki itu membuatnya agak pusing.

Nabilah kemudian mendalami kata demi kata petunjuk di poin pertama. “Sesuatu yang melambangkan 4 arah mata angin. Apakah itu?” dia seperti bertanya kepada dirinya sendiri. Dia mencoba-coba menganalisa. Raven juga masih terus berfikir. Keduanya terduduk di atas bebatuan di bukit itu. Sesekali mereka menatap ke arah pemandangan di bawah sana – yang penuh dengan perumahan penduduk. Terlihat kecil di kejauhan.

“Aha!” tiba-tiba Raven berseru dan membuat Nabilah terkejut.

“Ada apa?” tanya Nabilah heran.

“Tadi kau bertanya-tanya kan?! Tentang sesuatu yang melambangkan 4 arah mata angin?” tanya Raven.

“Iya. Apa kau mendapatkan sesuatu?”

“Sepertinya kita tidak menyadarinya sejak awal,” Raven terlihat antusias. “Tempat yang melambangkan 4 arah mata angin itu adalah suatu tempat yang sangat kita kenal,” Raven menjelaskan dengan penuh semangat. Dia sangat yakin akan pendapatnya.

“Memangnya kau tahu dimana itu?” tanya Nabilah dengan ragu.

“Sepertinya kau melupakannya,” sahut Raven. “Sesuatu yang melambangkan 4 arah mata angin itu – adanya di istana yang baru saja kita tinggalkan. Apa kau ingat dengan jumlah pilar-pilar istana itu?” tanya Raven kepada kekasihnya itu.

“Oh iya!! Kau benar sekali!” seru Nabilah girang. “Sepertinya disanalah petunjuk yang di maksud oleh poin pertama. Berarti kita harus kembali kesana?” tanya Nabilah.

“Tentu saja. Lebih cepat lebih baik,” jawab Raven sambil memandangi ‘kutukan anak panah’ yang terus bergerak dilengannya. ‘Kutukan’ yang akan mengambil nyawanya tidak kurang 5 hari lagi.
          
Keduanya kemudian berjalan menuruni bukit. Kemudian segera menuju istana kerajaan feliz yang memiliki 4 pilar mata angin.



***


          
Pevita hanya bisa meratapi kesendiriannya ditinggalkan yang lain dalam menjalankan misi mereka masing-masing. Dia duduk melamun sendirian di kamarnya. Dalam hatinya sedih karena tidak diizinkan sang ayah untuk ikut menjalankan misi.

Sang ayah yang terlalu menyayanginya tak akan membiarkan anaknya terancam bahaya. Raja Alberto sudah kapok setelah melihat anaknya diculik oleh Eden. Namun beruntung, Ezhar Al berhasil menyelamatkan sang putri – walau harus dibayar dengan nyawanya sendiri.

Putri Pevita kemudian menatap ke arah luar jendela istana. Dia berada di lantai atas istana, sehingga pemandangan di luar istana terlihat dari atas. Padang rumput luas di luar istana yang dipenuhi para prajurit yang masih berlatih untuk perang. Sesekali dia menatap ke atas langit. Tampak ada satu awan yang terpisah dari awan-awan lainnya. Hal itu seperti menyiratkan apa yang terjadi dengan dirinya. Ditinggalkan oleh teman-temannya yang sedang pergi menjalankan misi.

Tiba-tiba raut wajah Pevita berubah. Matanya tertuju kepada  dua sosok yang berlari menuju ke halaman istana. Sosok lelaki dengan rambut merahnya, dan seorangnya lagi wanita berambut panjang sebahu – terlihat tergesa-gesa. Dua sosok itu adalah Nabilah dan juga Raven. “Kenapa mereka kembali kesini?” gumam Pevita.


Tidak berapa lama kemudian, ketiganya kembali berkumpul di ruang tengah istana – meja bundar. Disusul kemudian raja Alberto yang datang dengan kursi rodanya, bersama seorang pengawal istana yang membantu mendorongkan kursi roda itu.

“Kenapa kalian kembali lagi?” tanya raja Alberto kepada Nabilah dan Raven.

“Maafkan kami yang mulia,” jawab Raven sambil menundukkan kepalanya. “Ada sesuatu hal yang mengharuskan kami kembali ke sini.”

“Maksudmu?” tanya sang raja lagi dengan suara agak serak. Tapi tetap bernada tegas walau beliau sedang dalam keadaan sakit. Mata sang raja sesekali menatap Pevita yang duduk disebelahnya. Putri cantik itu hanya diam saja tanpa berkomentar apa-apa. Dia masih menyimpan rasa kecewa karena sang ayah.

“Sebenarnya begini yang mulia,” Raven memulai penjelasannya. “Berdasarkan petunjuk berupa teka-teki yang ada di kertas ini, Sepertinya poin pertama yang bertuliskan : BERJALAN DI ATAS 4 MATA ANGIN DI KETINGGIAN – sepertinya ini sangat jelas menunjukkan bahwa tempat yang dimaksud adalah di istana ini. Lebih tepatnya di bagian atap Istana dengan 4 pilar yang mewakili arah mata angin. Dan berdasarkan kesimpulan saya, kami harus kembali ke istana ini untuk mencari petunjuk yang selanjutnya,” lanjut Raven sambil masih menundukkan kepalanya dihadapan sang raja.

Raja Alberto kemudian terdiam sejenak. Dia berusaha memikirkan kebenaran dari analisa Raven.

“Sepertinya ada benarnya, Raven,” jawab sang raja. “Kalian bisa melanjutkan pencarian kalian dari sini.” 

“Dan kau, Pevita,” kali ini sang raja menoleh kepada putri cantiknya. “Ada hal yang ingin ayah sampaikan kepadamu,” kali ini suara serak sang raja terdengar lebih halus. Tidak setegas biasanya.

Putri Pevita tak bergeming. Dia tetap diam saja dengan raut wajahnya yang menyiratkan kekecewaan. Kemudian sang raja melanjutkan perkataannya.

“Setelah ayah pikir-pikir, sepertinya ayah melewatkan sesuatu hal,” kata sang raja lirih. “Sepertinya dirimu juga sangat diperlukan dalam misi pencarian flores de la felicidad.”

“Maksud ayah?!” mata Pevita berbinar-binar.

“Ayah melewatkan sesuatu hal yang sangat penting. Hanya dirimu dan ayah yang merupakan keturunan leluhur para raja yang bisa membacakan mantra pembangkit kekuatan dari flores de la felicidad.

“Kalau ayah sudah tak mungkin lagi untuk ikut serta. Jadi tugas ini ayah serahkan kepadamu.”

“Benarkah itu ayah?!” tanya Pevita dengan antusias.

“Iya anakku,” sahut sang raja lirih. “Tetapi satu hal yang kuminta padamu. Kau harus membawa ini,” sang raja mengambil pedang dari pengawal yang berdiri dibelakangnya. Kemudian dia menyerahkan pedang berwarna perak itu kepada putrinya.

“Ini adalah pedang milik ayah. Gunakanlah ini untuk berjaga-jaga. Lagipula kau sudah sering dilatih pedang oleh Carlos kan?! Jadi Ayah akan melindungimu melalui pedang ini,” kata raja Alberto. Suara seraknya semakin berat. Dia sepertinya berat merelakan kepergian anaknya. “Jaga dirimu baik-baik nak.”

“Iya ayah. Aku akan baik-baik saja,” jawab Pevita. Kemudian diiringi pelukan hangat dari sang ayah kepada putri tercintanya itu.

Kemudian berangkatlah Pevita, Raven dan Nabilah menuju ke bagian atap istana yang melambangkan 4 arah mata angin itu. Dari situ akan dimulai sebuah petualangan yang sangat luar biasa.


***


Di bagian atas istana yang sangat luas dan berbentuk seperti lapangan sepakbola– Nabilah, Raven dan Pevita berjalan mengelilinginya tiap-tiap sisinya. Lantainya yang terbuat dari bebatuan berwarna abu-abu terlihat sangat rapi. Tiap-tiap bebatuan yang berbentuk seperti keramik namun besar – tersusun rapi membentuk lantai di atas istana itu. Pemandangan dari atas istana itu terlihat sangat indah. Terlihat hamparan rumput yang hijau dan juga rumah-rumah penduduk yang sangat terlihat kecil. Di satu sisi juga terlihat pemandangan bukit tempat pertama kali Nabilah menjejakkan kaki di negeri itu. Ketika dia dijemput oleh Carlos.

Matahari di sore itu semakin gelap. Cahaya yang semakin meredup menyinari pilar-pilar istana sehingga menimbulkan bayangan.

Di tiap-tiap sisi istana itu terdapat 4 buah pilar atau menara yang mewakili arah mata  angin. Di tengah-tengahnya terdapat satu pilar besar yang merupakan pilar utama dari istana itu. Kelima pilar itu berukuran sangat tinggi dan besar.

“Dari sini kita sudah mengikuti petunjuk pada poin pertama BERJALAN DI ATAS 4 MATA ANGIN DI KETINGGIAN, sepertinya sangat tepat dengan keadaan di atas istana ini – yang memiliki 4 pilar penunjuk arah mata angin,” Pevita memulai percakapan. “Selanjutnya bagaimana?” tanya Pevita kepada Nabilah yang berjalan di sampingnya.

“Hmm.. tunggu sebentar,” jawab Nabilah seraya membaca tiap huruf pada petunjuk selanjutnya yang tertera di kertas yang ada di tangannya. “Baiklah, aku bacakan. 2.         MENATAP KELAHIRAN SANG FAJAR DAN BERADA DIUJUNG TANDUK,” sambungnya.

Dengan cepat Raven yang dari tadi diam – mengutarakan pendapatnya. “Petunjuk ini sangat mudah. Sepertinya mengarahkan kita supaya menghadap ke arah terbitnya matahari, yaitu arah timur.

“Yup. Aku juga sependapat,” seru Pevita. Dia kemudian berjalan menyusuri atap istana itu. Dia berjalan mendekati pilar besar yang mewakili arah mata angin timur, diikuti oleh Nabilah dan Raven.

Ketiganya kemudian berada di depan pilar tinggi besar yang sepertinya merupakan petunjuk selanjutnya. Pilar besar itu terbuat dari bebatuan yang sama dengan lantai yang dipijak oleh mereka. Di depan pilar itu terdapat sebuah pintu.

“Dari sini sepertinya akan terlihat jawaban dari petunjuk selanjutnya,” kata Pevita seraya menunjuk ke pilar besar yang ada di hadapannya. “Sekarang bagaimana?”

“Di tulisan selanjutnya, BERADA DI UJUNG TANDUK – sepertinya yang harus dipecahkan,” sahut Nabilah sambil terus menatap sobekan kertas yang berisikan teka-teki yang harus mereka pecahkan bersama-sama.

“Tanduk ya? Hmm.. di sini sepertinya tidak ada sesuatu yang berbentuk ‘tanduk’ atau yang mengarah ke arah sana,” terang Pevita sambil mengamati sekelilingnya. Sementara hari itu semakin sore dan gelap.

Nabilah dan Raven juga terus memikirkan petunjuk tentang ‘berada di ujung tanduk’. Sepertinya belum ada yang memahami makna dari kalimat tersebut. Keduanya terlarut dalam pikiran dan analisa masing-masing.

“Petunjuk mengenai ‘tanduk’ sepertinya harus dipahami lebih mendalam mengenai apa itu ‘tanduk’,” kata Pevita seraya membuyarkan lamunan Nabilah dan Raven yang terlarut dalam pikirannya masing-masing. “Menurutmu bagaimana, Raven?”

Raven kemudian berusaha mengutarakan pandangannya. “Kalau menurutku, ‘tanduk’ itu sama seperti mahkota – letaknya sama-sama di paling atas kepala. Dan sekarang kita berada di atas istana kerajaan. Selebihnya bisa kau simpulkan sendiri,” jelas Raven seraya membalikkan pertanyaan itu kepada Pevita.

“Boleh aku memberikan pendapat?”Tanya Nabilah menyela.

“Ya. Apa itu?” tanya Pevita.

“Menyambung pendapat Raven tadi, sepertinya yang dimaksud dengan ‘tanduk’ dan kita yang sekarang berada di atas istana ini. Definisi ‘tanduk’ menurut Raven tadi adalah sesuatu yang terletak di paling atas. Sepertinya kita sedang berada di paling atas istana – dan tempat tertingginya adalah pilar-pilar yang sekarang ada di sekitar kita ini. Mengenai makna dari tulisan BERADA DI UJUNG TANDUK, artinya kita harus berada di puncak dari salah satu pilar. Dan pilar yang dimaksud adalah pilar yang sesuai dengan petunjuk tulisan MENGHADAP KELAHIRAN SANG FAJAR. Artinya kita harus menuju ke ‘ujung tanduk’ – maksudnya adalah menuju ke puncak dari pilar yang ‘menghadap kelahiran sang fajar’ – yang artinya adalah berada di puncak pilar yang mewakili arah timur,” dengan yakin Nabilah mengutarakan penjelasannya.

“Wah rupanya kau pintar juga ya,” sahut Raven sambil tertawa.

 “Baru tahu ya, hahaha,” balas Nabilah seraya ikut tertawa.

Pevita kemudian ikut tersenyum simpul. Dia merasa kagum dengan analisa Nabilah yang sepertinya tepat sasaran.

“Baiklah. Sepertinya kita harus naik ke dalam pilar ini,” kata Pevita seraya mengarahkan kedua temannya menuju ke dalam pilar.

“Wah. Jadi pilar-pilar ini bisa dimasuki ya?” tanya Nabilah dengan sedikit bingung.

“Tentu saja. Kau bisa lihat sendiri kan, di sana ada pintunya,” jawab Pevita sambil menunjuk ke arah pintu yang berada di tiap-tiap pilar besar itu. “Nanti akan kujelaskan mengenai fungsi dan maksud keberadaan ke 4 pilar ini. Serta satu pilar terbesar yang ada ditengah-tengah sana,” tunjuk Pevita ke arah pilar terbesar yang berada di tengah-tengah atap istana. Pilar itu dikelilingi oleh ke 4 pilar yang berada di tiap sisi di bagian atas istana yang megah itu.

“Ayo ikuti aku. Kita menuju ke puncak pilar ‘timur’ ini,” ajak Pevita kepada Nabilah dan Raven. Keduanya pun menurut. Mereka kemudian berjalan menuju pilar itu dan masuk melalui pintu yang ada di depannya.

Setelah pintu dibukakan, terlihat sebuah tangga besar yang melingkar panjang menuju ke atas pilar yang terlihat sangat jauh di atas sana. Mungkin tangga itulah yang akan dinaiki untuk menuju ke bagian paling atas pikir Nabilah.

Bagian dalam pilar itu terlihat remang-remang. Hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Sehingga tak terlihat jelas bagian dinding dari pilar berbentuk tabung yang semakin ke atas semakin meruncing itu. Pevita kemudian seperti menekan sesuatu di dinding pilar itu.

Tak lama kemudian lampu-lampu yang tertempel di dinding pilar itu menyala semuanya. Terlihat jelas kalau tangga itu berbentuk sangat elegan. Terbuat dari logam berwarna keperak-perakan dan menjulang melingkar menuju kebagian puncak pilar yang terlihat jauh. Di sekeliling dindingnya terdapat lampu-lampu berbentuk bola berukuran seperti bola dalam sepak bola. Bola lampu besar itu berada di tiap sisi pilar dan tersebar di tiap sisi tangga yang menjulang ke atas. Lampu itulah yang menerangi tiap langkah ketika menapaki anak tangga yang ada di dalam pilar itu – menuju ke atas puncak pilar yang tingginya puluhan meter itu.

Pevita kemudian mengajak Nabilah dan si rambut merah Raven – untuk menyusuri tangga yang menjulang itu. Sambil berjalan menaiki tiap-tiap anak tangga itu – Pevita kemudian bercerita mengenai fungsi dari keempat pilar dan satu pilar utama yang tadi mereka lihat.

“Baiklah, akan kujelaskan mengenai fungsi dari pilar-pilar di istana ini,” kata Pevita memulai penjelasan. Sementara kakinya terus melangkah menapaki anak tangga dengan pelan dan diikuti oleh kedua orang yang ada di sampingnya.

Tiap anak tangga yang diterangi lampu-lampu disekitarnya membuatnya berjalan tanpa khawatir.

 Pevita kemudian melanjutkan apa yang dibicarakannya tadi.

“Pilar-pilar yang menunjukkan arah mata angin ini sebenarnya adalah semacam menara pengawas ketika istana di serang,” jelas Pevita. “Di puncak masing-masing pilar terdapat senjata semacam meriam yang bisa menghancurkan dari jarak jauh. Nanti kalau kita sudah di atas – bisa kita lihat meriam dan peralatan lainnya – seperti teropong besar dan lain sebagainya yang ada di puncak pilar yang akan kita capai nanti.

“Jadi ada 4 penjaga yang nantinya berjaga di tiap-tiap sisi menara ini. Mereka mengambil posnya masing-masing untuk melindungi serangan yang datang dari berbagai penjuru,” jelas Pevita.

“Oh, begitukah. Tadinya kupikir 4 pilar istana ini hanyalah simbol saja,” Nabilah mengutarakan pendapatnya. “Lalu bagaimana dengan pilar terbesar yang ada di tengah-tengah? Apakah di sana ada semacam senjata yang lebih hebat lagi?” tanya Nabilah.

“Tidak. Kalau pilar di tengah-tengah tidak berisi senjata seperti keempat pilar lainnya. Pilar terbesar yang ada ditengah-tengah itu adalah tempat perlindungan terakhir bagi raja, keluarga kerajaan dan petinggi istana. Makanya pilar besar yang merupakan ‘benteng’ terakhir itu dikelilingi oleh 4 pilar mata angin yang berfungsi sebagai pelindung.

“Akses menuju pilar utama itu hanya bisa melalui bagian atas istana. Tidak bisa memasukinya dari bagian bawah istana – tidak bisa juga melalui bagian dalam istana. Jadi akses satu-satunya hanyalah melalui jalan yang kita lalui tadi. Kalau ada musuh yang mau memasuki pilar utama – maka akan terlihat oleh menara pengawas di 4 pilar yang mengelilingiya. Dengan cepat akan bisa melumpuhkan musuh yang bermaksud memasuki pilar utama tempat perlindungan terakhir petinggi kerajaan ini,” Pevita menjelaskan dengan rinci diiringi langkah kakinya yang terus menyusuri anak tangga yang ada di dalam pilar itu. Perjalanan masih separuh jalan lagi menuju ke puncak menara dari pilar ‘timur’ itu.

“Semua yang kujelaskan tadi adalah fungsi dari semua pilar yang ada di istana ini,” lanjut Pevita. “Mungkin kau bisa bertanya sesuatu yang masih belum kau mengerti, Nabilah?”

Nabilah kemudian berfikir sejenak. Dia seperti ingin mengungkapkan sesuatu hal – namun bukan sesuatu yang berhubungan dengan pilar-pilar yang tadi dijelaskan oleh Pevita. Nabilah ingin menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan keberadaan kedua orang tuanya serta mimpi-mimpi yang dialaminya sebelum bertemu dengan Pevita dan makhluk negeri feliz lainnya. Juga mengenai alasan Pevita menitipkan liontin feliz de que lo kepada dirinya – sehingga mempertemukan dirinya dengan sosok magician bernama Raven – yang sebelumnya memakai nama Aliando ketika dia berada di ‘dunia nyata’.


“Maaf sebelumnya, Pevita. Aku ingin bertanya sesuatu yang sedikit melenceng dari penjelasanmu barusan,” Nabilah memberanikan dirinya untuk bertanya sesuatu hal – setelah lumayan lama memendam pertanyaan itu.

“Boleh saja. Apa yang mau kau tanyakan?” tanya Pevita di tengah suasana dalam pilar yang lumayan terang oleh bola lampu besar yang berada di tiap sisi tangga.

“Mungkin aku sedikit aneh saja ketika pertama kali aku mengalami hal-hal aneh. Kemudian berlanjut ke hal-hal aneh selanjutnya – sampai akhirnya aku berada di sini – di negeri yang bisa dibilang hanya ada dalam mimpi atau fantasi anak-anak,” Nabilah mengungkapkan segala hal yang sangat mengganjal di hatinya.

“Di awali dengan berbagai mimpi aneh yang ku alami. Yang membuatku merasa bingung – apakah yang pernah kulihat di mimpi itu memang menggambarkan keadaan yang sebenarnya? Maksudku – sebelumnya aku pernah bermimpi bertemu dengan mu dan juga Raline. Waktu itu latar tempatnya berupa istana 4 pilar yang ternyata memang benar – kenyataan dari bentuk istana itu memang seperti dalam mimpi itu. Jadi, mungkinkah di mimpi-mimpi yang lainnya juga menggambarkan keadaan sebenarnya?” Nabilah menanyakan segala hal yang masih mengganjal di hatinya.

“Ya benar sekali. Yang kau lihat dalam mimpi waktu itu sama dengan keadaan yang sebenarnya. Kami berkomunikasi kepadamu melalui mimpi – dengan gambaran nyata dari negeri kami dan disampaikan menuju duni mimpi di duniamu. Memang seperti itulah yang terjadi,” jawab Pevita. “Kenapa kau menanyakan hal itu?”

“Hmm. Bukan apa-apa sih. Hanya saja... Hanya saja ada hal yang mengganjal,” Nabilah terlihat ragu untuk bercerita.

“Ceritakan saja. Ceritakan semua yang kau anggap sedikit janggal menurutmu,” kata Pevita sambil terus berjalan menaiki tangga di dalam bangunan pilar itu.

Nabilah seperti ragu untuk menjelaskan. Raven yang berjalan disampingnya terlihat memegang bahu Nabilah – semacam isyarat supaya Nabilah menceritakan semua yang mengganjal dipikirannya.

Nabilah kemudian menghela nafasnya.

“Baiklah,” kata Nabilah. “Akan kuceritakan tentang hal yang mengganjal dipikiranku. Lebih tepatnya sesuatu hal yang pernah kulihat di mimpi aneh yang pertama kali ku alami.

“Saat itu aku sedang jalan-jalan, mengusir kesedihan dan kegalauanku – karena baru ditinggal pergi orang tuaku dalam sebuah kecelekaan pesawat. Lebih tepatnya pesawat yang hilang beserta seluruh penumpangnya yang sampai saat ini belum ditemukan juga. Waktu itu aku baru pindah rumah dan tinggal bersama om Wisnu dan tante Shireen di sebuah desa – yang sampai sekarang aku tinggali. Aku kemudian berjalan-jalan untuk menghilangkan kesedihan. Berjalan-jalan di jalan pedesaan yang indah menuju ke sebuah padang rumput. Di padang rumput itu terdapat sebuah pohon besar – yang sekarang menjadi portal menuju negeri ini.

“Karena kelelahan sehabis jalan-jalan – aku kemudian bersandar di pohon besar itu, kemudian tertidur. Nahh saat itulah aku bermimpi aneh untuk pertama kalinya. Mimpi aneh yang membawaku sampai ke mimpi-mimpi aneh lainnya – sampai akhirnya aku berada di negeri ini. Seperti di dongeng saja.

“Anu tunggu sebentar,” potong Raven. “Bisakah langsung kau ceritakan garis besarnya? Kita hampir sampai di puncak pilar,” jari Raven menunjuk ke bagian atas pilar yang terlihat makin dekat.

“Oh iya. Benar katamu,” Nabilah menyadari itu. “Baik langsung saja kujelaskan hal aneh yang kulihat di mimpi pertamaku sewaktu di padang rumput. Waktu itu.... dalam mimpi aku bertemu dengan orang tuaku. Mereka dalam keadaan disekap oleh seorang wanita berpakaian serba hitam. Di belakang wanita itu berdiri banyak pasukan. Bisa kau jelaskan makna dari mimpi itu? Katamu tadi, apa yang kulihat di dalam mimpi itu nyata. Mungkin saja keberadaan orang tuaku juga...” Nabilah menatap tajam ke arah Pevita.

Pevita sedikit terharu mendengar cerita mengenai orang tua Nabilah yang hilang. Dia kemudian berusaha menjawab pertanyaan yang mengganjal di hati Nabilah itu, walaupun hal itu di luar sepengetahuannya. Mengenai mimpi pertama Nabilah itu, sama sekali dirinya tidak ‘mengontrol’. Tidak seperti mimpi kedua yang sepenuhnya dikontrol dan memang dirancang oleh Pevita.

“Mengenai hal itu, aku sedikit ragu untuk menjelaskan kebenarannya. Aku tak bisa berkata ‘iya’, juga tak bisa berkata ‘tidak’ mengenai kebenaran yang kau lihat – apakah memang itu nyata ataukah tidak. Sebabnya adalah karena di mimpimu itu – sedikitpun tak ada campur tanganku. Jadi, sedikitpun aku tak tahu apakah yang kau lihat itu nyata.

“Berbeda dengan di mimpimu yang kedua. Dalam mimpi kedua, aku sepenuhnya mengontrol mimpi itu. Aku ingin menyampaikan ‘pesan’ lewat mimpi itu. Sewaktu aku meminta tolong untuk menjaga liontin feliz de que lo.”

“Oh begitu ya,” sahut Nabilah pelan. Dia kemudian tertunduk lesu. Dia seperti kehilangan semangatnya. Karena pertanyaannya yang satu itu belum terjawab.

“Tapi..” Pevita kemudian menyela. “Bisakah kau jelaskan ciri-ciri dari wanita berpakaian hitam yang kau lihat dalam mimpimu waktu itu? Mungkin saja ciri fisiknya sama dengan Eden,” Pevita mencoba menganalisa.

“Hmm.. tidak terlalu kuingat. Tapi rasa-rasanya, selain berpakaian serba hitam, wanita itu memiliki rambut pendek seperti seorang pria. Dan kalau tidak salah... warna rambutnya hitam,” Nabilah mencoba mengingat-ingat. Dalam hal mengingat sesuatu, Nabilah cukup hebat. Jadi dia begitu yakin dengan apa yang dikatakannya.

“Wah, sepertinya wanita yang kau gambarkan itu bukanlah Eden. Meskipun sama-sama berpakaian serba hitam – kalau Eden memiliki rambut panjang berwarna merah. Rambut merah merupakan ciri khas magician dengan kekuatan yang hebat. Sama halnya dengan pria yang berjalan di sampingmu itu,” Pevita mengarahkan kepada Raven yang terlihat tersenyum simpul. Dia kemudian mengibaskan rambut merahnya layaknya orang yang habis keramas. Seolah menunjukkan kalau dia merupakan salah satu magician hebat di negeri feliz. Dia sedikit membanggakan hal itu dihadapan dua wanita cantik yang berjalan di sampingnya.

“Berarti dia siapa??” tanya Nabilah dengan tiba-tiba. Terlihat raut kecewa di wajah cantiknya. “Padahal.. Padahal aku berharap ayah dan ibuku berada di sini. Makanya aku bersedia mengikuti perintah kalian.” Nada suara Nabilah terlihat sedih. Harapan satu-satunya baginya hanyalah angan belaka. Tak ada lagi yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan kembali kedua orang tuanya. Dia kemudian menghentikan langkah kakinya dan duduk di atas anak tangga. Bola lampu terang yang tertempel di dinding menerangi wajahnya yang berlinangan air mata.

Raven kemudian ikut duduk di samping Nabilah.

“Yang sabar ya, Nabilah. Kau boleh saja mengubah pikiranmu dan kembali ke duniamu. Aku tidak apa-apa di sini,” Raven mendekap bahu Nabilah. Dia berusaha menghibur Nabilah.

Pevita hanya diam saja tanpa suara. Kepalanya tertunduk. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi karena rasa ibanya.

“Bagaimana kalau aku antar pulang saja?” tanya Raven. Tangannya menyeka pipi Nabilah yang berlinangan air mata.

“Tidak,” sahut Nabilah. “Aku berada di sini juga demi dirimu. Aku bersumpah untuk menyelamatkan nyawamu,” Nabilah masih terisak.

“Aku tidak apa-apa,” sahut Raven lirih. “Kau tidak perlu memikirkan diriku ya. Lebih baik aku antarkan sekarang saja ya,” Kali ini Raven memegang tangan Nabilah dengan sangat tulus. Perasaan cintanya tersampaikan melalui genggaman tangan itu. Dia berusaha untuk tidak mengecewakan perasaan Nabilah yang benar-benar putus asa – karena kehilangan satu-satunya harapan tentang keberadaan kedua orang tuanya.

“Maafkan aku Raven. Aku tetap pada keputusanku untuk di sini,” Nabilah kemudian bangkit dari duduknya. “Ayo kita teruskan perjalanan!” tegasnya lagi.

“Tu-tunggu dulu,” sela Raven. “Bukankah kau tidak ada alasan lagi untuk meneruskan ini semua. Petunjuk keberadaan orang tuamu tidak terlihat lagi. Kau hanya akan membahayakan dirimu saja kalau berada di sini,” Raven berusaha membujuk Nabilah supaya kembali ke dunianya saja.

“Aku di sini untuk menyelamatkan nyawamu!” tegas Nabilah lagi. “Nyawamu terancam oleh kutukan itu – semua karena kau ingin melindungiku. Kau tak ingin diriku diburu oleh Eden dan pasukannya, sehingga kau memutuskan untuk berkhianat. Dan ‘kutukan’ itu akibat penghianatanmu kepada Eden. Nyawamu lah yang kau pertaruhkan untuk semua itu.

“Semuanya karena salahku. Gara-gara diriku, kau menjadi seperti ini,” Nabilah menatap dalam-dalam pria berambut merah di sampingnya. “Aku takkan pernah memaafkan diriku kalau aku tidak meneruskan misi ini. Selamanya aku akan hidup dalam rasa bersalah,” Nabilah berusaha meyakinkan Raven.

“Sepertinya aku tidak bisa mencegahmu lagi,” jawab Raven singkat.

“Baik, apa sudah cukup teman-teman?” tanya Pevita. “Kita sudah dipuncak sekarang.” Pevita kemudian mendekati Nabilah sambil menepuk bahu Nabilah.

“Mungkin aku merasa sedikit bersalah. Aku tak bisa berkata apa-apa mengenai keberadaan orang tuamu. Maafkan aku,” Pevita hanya bisa menunduk.

“It’s okey. Aku tidak apa-apa. Sekarang fokusku hanyalah nyawa Raven. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai untuk kesekian kalinya,” tegas Nabilah. Sorot matanya yang tajam menyiratkan kekuatan tekadnya.

Raven terlihat terharu mendengar perkataan Nabilah itu. Dia kemudian juga membulatkan tekadnya untuk melindungi nyawa Nabilah. Apapun yang terjadi, nyawa Nabilah adalah prioritas yang harus diutamakannya. Hal itu terlihat dari sorot matanya yang menunjukkan keyakinan kuat – untuk melindungi orang yang paling dicintainya itu.


Terkadang apa yang kita rencanakan belum tentu berhasil. Apa yang kita harapkan belum tentu sesuai. Ketika harapan itu telah pupus – rasanya sangat menyakitkan..

"Tapi hidup harus terus berjalan. Masih ada tujuan lain yang tak kalah pentingnya. Menyelamatkan nyawa orang yang dicintai adalah alasan logis agar aku tetap bertahan di sini..."

(Nabilah Zahra)


***


“Nah.. sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Raven tatkala ketiganya sudah menjejakkan kaki di lantai teratas menara.

Di puncak pilar itu ukurannya tidak terlalu luas. Lantai ruangan berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 6 meter saja. Jarak lantai dan langit-langit pun tidak terlalu tinggi – hanya sekitar 2,5 meter. Di sisi-sisinya tampak terbuka dengan hanya di batasi dinding setinggi pinggang. Sehingga dari atas pilar itu bisa melihat ke arah luar.

Nabilah kemudian berjalan ke sisi pilar itu. Dia melihat ke arah bawah. “Wow di sini tinggi sekali!!” seru Nabilah. Matanya tertuju kepada lapangan rumput di pekarangan istana yang terlihat lebih kecil. Begitu pula dengan pohon-pohon di sekelilingnya. “Lagipula angin bertiup lumayan kencang di sini yah,” hembusan angin sore itu menghujam ke tempatnya berdiri di puncak pilar.

“Tentu saja,” jawab Pevita. “Tinggi pilar ini hampir sama dengan bukit yang kau datangi sebelumnya. Wajar saja angin di atas sini lumayan terasa hembusannya.”

Nabilah kemudian berjalan menuju ke bagian tengah-tengah pilar. Rasa penasarannya terhadap benda yang ada di sana – membuatnya mendekati benda itu.

“Wow di sini banyak terdapat peralatan-peralatan aneh,” seru Nabilah. Matanya tertuju pada sebuah benda yang berada di tengah-tengah lantai pilar. Ada dua buah benda besar yang ada di sana. Di bawahnya terdapat beberapa buah benda yang berbentuk seperti bola bowling.

“Itu adalah meriam pilar ini. Meriam itu lah yang digunakan untuk melindungi istana ini dan juga pilar utama,” jelas Pevita seraya menyentuh besi berwarna hitam yang ternyata adalah sebuah meriam. Tidak lama kemudian dia berjalan mendekati benda yang satunya.

“Sedangkan yang di sampingnya ini adalah sebuah teropong. Untuk mengamati pergerakan musuh dari jauh. Mau coba?”

Nabilah kemudian mendekati teropong itu. Dia kemudian mendorong teropong itu menuju ke sisi pilar yang terbuka.  Dia kemudian menggunakan teropong itu untuk melihat pemandangan di sekeliling istana itu. Sementara Raven sibuk mengamati meriam pilar itu.

“Wow! Semuanya terlihat jelas dengan teropong ini!” Seru Nabilah. Dia menggunakan teropong itu sambil melihat bangunan yang sebelumnya terlihat kecil – kini terlihat lebih besar dan jelas.

“Ya memang begitu kegunaan teropong itu – untuk mengamati benda yang jauh jaraknya dari tempat ini,” terang Pevita.

“Hari semakin gelap. Bagaimana mengenai petunjuk teka-teki selanjutnya?” tanya Pevita kemudian.

Nabilah kemudian menghentikan aktivitasnya bersama teropong itu. Dia merogoh sakunya untuk mengambil sobekan kertas yang ada petunjuk teka-teki tadi.

“Petunjuk selanjutnya – setelah MENATAP KELAHIRAN SANG FAJAR DAN BERADA DIUJUNG TANDUK – yaitu: KETIKA ARAH JAM 9 DAN SEBUAH PERISTIRAHATAN ABADI. Bagaimana?” Nabilah balik bertanya.

“Sekarang kita sudah berada ‘di ujung tanduk’ – yaitu di ujung menara pilar ini. Berarti yang selanjutnya harus dipecahkan adalah kalimat ‘ketika arah jam 9 dan sebuah peristirahatan abadi,” jelas Pevita. Wajahnya terlihat sangat keras berfikir.

“Arah jam 9 biasanya digunakan untuk menunjukkan arah dari posisi seseorang menghadap,” tiba-tiba Raven mengutarakan pendapatnya. “Misalnya, kita saat ini menghadap ke suatu arah, maka arah yang kita hadap itu dianggap sebagai jarum jam ke arah 12. Berarti arah jam 9 dari situ adalah di sebelah kanan – menghadap sekitar 15 derajat dari posisi menghadap sebelumnya.

“Namun ada satu kendala. Kita belum tahu arah pertama yang harus dihadap – alias arah patokan – sebelum menentukan ‘arah jam 9’ dari arah patokan tersebut. Ada ide?” Raven balik tanya kepada Pevita dan juga Nabilah.

“Hmm.. apa ya?” gumam Nabilah kepada dirinya sendiri. Pevita yang berdirinya terlihat berfikir keras. Namun tidak lama kemudian dia menjelaskan sesuatu

“Sepertinya itu terlihat di petunjuk sebelumnya!” seru Pevita. “Nabilah, tadi rasanya ada kalimat ‘menghadap kelahiran sang fajar’ – mungkinkah kalimat itu yang merupakan petunjuk untuk dijadikan arah patokan – seperti yang dimaksudkan oleh Raven,” Pevita terlihat percaya diri mengutarakan idenya.

“Hmm..” gumam Raven. “Sepertinya memang itu ya.”

“Jadi, arti dari ‘menghadap kelahiran sang fajar’ – itu adalah menghadap ke arah timur,” tambah Pevita.

“Jadi sekarang kita berada di atas pilar ‘timur’ dan sekarang kita harus menghadap ke arah timur lagi. Begitulah kesimpulanku sementara ini,” jelas Pevita.

Ketiganya kemudian menghadapkan badan mereka ke arah timur – sesuai dengan petunjuk di kertas. Ketiganya kemudian berjalan ke sisi pilar dan menatap pemandangan bangunan-bangunan yang terlihat dari atas sana.

“Petunjuk selanjutnya bagaimana,Nabilah?” tanya Pevita kemudian.

Nabilah kemudian membacakan petunjuk selanjutnya yang tertulis di kertas ‘contekan’nya.

“Tadi kan petunjuk ‘arah jam 9’ sudah kita pecahkan. Petunjuk selanjutnya adalah ‘sebuah peristirahatan abadi’,” kata Nabilah.

“Wah itu terdengar seperti istilah untuk sebuah makam,” gumam Raven. Pevita kemudian berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba dia berjalan mengambil teropong yang tadi di pakai Nabilah.

“Kita membutuhkan alat ini!” seru Pevita. Tangannya mendorong teropong itu ke posisi Nabilah dan Raven berdiri – lebih tepatnya ‘arah jam 9’. Dia dengan cepat mengarahkan teropong itu ke suatu arah, kemudian dia menggunakan teropong itu untuk memperjelas apa yang dilihatnya itu.

“Nah itu dia!” seru pevita. Matanya yang tertempel di lensa teropong seperti melihat sesuatu. “Itu dia tempat yang kita cari, salah satu pemakaman yang cukup besar di negeri ini,” sambungnya.

“Memang bisa dilihat dari sini?” tanya Nabilah heran.

“Coba saja kau lihat sendiri,” Pevita kemudian bergeser dari posisinya yang berada di belakang teropong. Dia mempersilakan Nabilah untuk menggunakan teropong itu.

Nabilah dengan hati-hati menggunakan alat penglihat jarak jauh itu. “Wah, yang kulihat hanyalah semacam komplek dengan gapura di depannya. Ukurannya sangat kecil. Mungkin jaraknya sangat jauh dari sini ya?” gumam Nabilah.

“Ya mungkin sekitar 15 kilometer dari istana ini,” jawab Pevita. Tangannya menggenggam erat ke dinding batu yang tingginya hanya sepinggang.

Angin berhembus di atas menara pilar tempat mereka berada sekarang. Haripun semakin gelap.

Nabilah kemudian menatap arlojinya yang masih berputar detik demi detik. Nabilah sedikit bingung melihat arlojinya yang sepertinya tidak sesuai dengan waktu di negeri itu. Di arlojinya menunjukkan jam 12, sedangkan keadaan hari masih sore menjelang petang.

“Sepertinya waktu di dunia ini berbeda dengan waktu di duniaku,” gumam Nabilah. “Lebih baik benda ini kusimpan saja.” Dia kemudian menyimpan arlojinya itu di dalam ransel hitam yang sejak tadi di bawanya.

“Sepertinya arloji itu bisa dipakai di sini,” sahut Raven. “Kau Cuma perlu menyesuaikan waktunya saja. Dunia mu dan dunia ini Cuma berselisih jamnya saja. Kalau durasinya sama – satu hari itu 24 jam. Jadi lebih baik kau ubah saja jarum jam di arlojimu itu menjadi pukul 18.00 – waktu sekarang di sini,” tambahnya lagi.

“Oh baiklah kalau begitu,” Nabilah kemudian mengambil kembali arloji putihnya dan memasangnya di pergelangan tangannya. Kemudian dia menyetel jarum jamnya supaya menunjukkan pukul 18.00 – sesuai perkataan Raven.

“Tunggu dulu!” seru Nabilah tiba-tiba. “Darimana kau tahu kalau sekarang sudah pukul 18.00?” tanya Nabilah heran.

Raven kemudian tersenyum. “Untuk memperkirakan waktu, aku cukup dengan melihat ke arah matahari. Mudah bagiku untuk memperkirakan jam sekarang ini.” Tangan Raven kemudian menunjuk ke arah matahari di sebelah barat – atau arah kiri dari posisi mereka berdiri saat ini. Terlihat Cahaya jingga matahari yang hampir tenggelam.

“Kau lihat saja Nabilah, Mataharinya hampir tenggelam. Dan aku bisa menganalisa kalau sekarang jam 18.00 – atau mungkin lebih beberapa menit saja. Kau tenang saja, analisaku ini 99 persen akurat. Itulah juga bagian dari kelebihanku, hehehe,” Raven tertawa bangga. Nabilah hanya diam melongo. Penjelasan yang sepertinya kurang meyakinkan baginya.

“Apakah kalian sudah selesai?” Pevita memotong pembicaraan. Tangannya kemudian merapikan rambutnya yang tertiup angin. “Hari semakin gelap, apakah kita meneruskan perjalanan malam hari – atau menunggu besok pagi saja? Tujuan kita adalah pemakaman yang tadi kita lihat melalui teropong.

Nabilah kemudian dengan cepat menjawab.

“Sebaiknya perjalanan kita teruskan malam ini saja. Kalau menunggu besok – akan banyak waktu yang terbuang. Nyawa Raven tinggal beberapa hari lagi. Lihat saja tatto di lengannya yang semakin mengkhawatirkan,” Nabilah menunjuk ke arah lengan Raven. Di sana terlihat tatto anak panah yang kini semakin ke atas – menuju ke bahu Raven.

“Kalau terlambat, maka anak panah itu akan menghujam ke jantung Raven. Kalau itu terjadi, maka habislah dia,” ungkap Nabilah lirih. Bayangan kematian lelaki yang dicintainya itu kembali menghantui pikirannya. Membentuk rasa takut di dalam batinnya.

Raven hanya diam saja. Dia berusaha tegar dengan apa yang akan menimpanya.

“Baiklah,” sahut Pevita. “Malam ini juga kita langsung berangkat menuju ke pemakaman.”

Pevita kemudian menatap tajam ke arah Nabilah dan Raven.

“Malam ini kita persiapkan segalanya. Persenjataan, obat-obatan dan makanan. Ada kemungkinan kita akan menghadapi pertarungan di tengah perjalanan nanti,” raut wajah Pevita nampak serius.

“Bukankah di wilayah kerajaan ini aman dari serangan musuh?” tanya Nabilah heran. “Kau pernah mengatakan kalau wilayah di sini dilindungi oleh kekuatan perisai dari liontin feliz de que lo. Tidak mungkin musuh bisa masuk ke dalam wilayah ini,” sambung Nabilah. Wajahnya nampak sedikit histeris.

“Yang kau katakan memang benar Nabilah,” jawab Pevita. Tapi sekiranya kau ketahui, ada 2 faktor yang memungkinkan musuh bisa menembus pertahanan wilayah kerajaan ini.

“Faktor pertama adalah, kekuatan dari liontin feliz de que lo yang semakin melemah. Ada indikasi kalau musuh bisa menggunakan kekuatannya untuk menembus perisai yang sedang melemah. Tapi aku sudah menempatkan beberapa pasukan di titik-titik vital perbatasan antara kerajaan ini dengan wilayah kekuasaan Eden – dark of feliz. Setidaknya keberadaan mereka akan menyulitkan musuh yang berniat untuk menyerang masuk ke wilayah ini,” wajah Pevita sedikit tegang.

Nabilah menelan ludahnya. “Bagaimana dengan faktor kedua?” tanya Nabilah kepada Pevita.

“Faktor kedua lebih membahayakan lagi,” wajah Pevita semakin serius. “Pembagian tugas yang diberikan ayahku mengharuskan tim kita terbagi dua kan. Waktu itu, yang ditugaskan untuk mencari jasad Ezhar Al adalah Raline dan Carlos. Dan tempat pencarian mereka berada di luar dari wilayah perlindungan dari liontin – atau bisa dikatakan kalau perjalanan mereka adalah menuju ke wilayah dark of feliz,” terang Pevita.

“Wah perjalanan mereka berdua sangat berbahaya,” gumam Nabilah. “Terus, apa yang kau maksud dengan faktor yang membahayakan tadi?”

Pevita menghela nafas panjang-panjang. “Karena Raline dan Carlos harus pergi keluar dari wilayah kerajaan, Maka mereka perlu untuk membuka ‘perisai’ pertahanan kerajaan. Kalau tidak dibuka, perisai itu akan menghalangi langkah mereka menuju ke luar wilayah kerajaan. Untuk itu, aku menitipkan benda berharga yaitu liontin feliz de que lo yang merupakan ‘kunci’ untuk membuka perisai kerajaan ini.

“Yang ku maksud ‘faktor membahayakan’ tadi adalah – Aku mempercayakan liontin itu di tangan mereka. Dan mereka melakukan perjalanan di wilayah musuh. Kemungkinan besar musuh akan merebut liontin itu dari mereka. Tapi mau bagaimana lagi, kalau aku tidak memberikan liontin itu, maka Raline dan Carlos tak akan bisa menjalankan misi pencarian jasad Ezhar Al. Maka dari itu, aku terpaksa bertaruh – kalau keselamatan liontin ada di tangan mereka berdua.


“Kalau musuh berhasil merebut liontin itu, maka kita semua harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Angkat senjata dan bertarung!!”



(Continued Next Time on Season 2)


Ditulis oleh: Jack Neptune

Baca Juga