--> Skip to main content


  

[CERBUNG] Magician of Feliz (Bab 9)

BAB 9: NEGERI FELIZ DI BENUA ATLANTIS YANG HILANG

Baca cerita sebelumnya di:

baca cerbung online magician of feliz bab 2

    

          “KURANG AJAR!!” ratu Eden terlihat sangat murka. “Raven sialan! Penghianat! Akan kuhabisi kau!” wajahnya merah padam, emosinya membuncah. Rafael dan Riana yang ada dihadapannya hanya bisa berdiri dan terdiam. Suasana gelap di ruangan kastil Eden mewarnai kemurkaan  sang ratu. Dia tak menyangka, salah satu bawahan kepercayaannya telah berkhianat kepada dirinya.
        
        “Maaf yang mulia, apa yang harus kami lakukan? Apakah kami perlu menghabisi penghianat itu?” tanya Riana kepada ratu Eden.
      
     “Tentu saja! Dia harus dihabisi! Supaya dia tahu bagaimana akibatnya kalau membangkang kepadaku!” ratu Eden sangat geram.
          
          “Bukankah lebih baik kita menunggu saja,” sela Rafael. Wajahnya terlihat santai.
      
    “Apa maksudmu?!” tanya Eden geram. “Apa kau tidak mau menghabisi penghianat itu?!
   
        “Maafkan atas kelancangan hamba. Maksud saya adalah kita hanya perlu menunggu saja. Kematian penghianat itu hanya tinggal menunggu waktu. Bukankah Yang Mulia sudah tahu, apa akibatnya kalau berkhianat. Apa Yang Mulia sudah lupa dengan ‘kutukan’ anak panah?” Rafael mengingatkan sang ratu.
    
    Sang ratu berfikir sejenak. “Kau benar sekali, Rafael,” kali ini ratu Eden sudah bisa menenangkan dirinya. “Penghianat itu akan segera menerima ajalnya. Itulah akibatnya karena sudah menghianatiku. Kematiannya akan sangat tragis, siksaan dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh ‘kutukan’ itu.  Hampir saja aku lupa dengan itu. Untung kau sudah mengingatkanku,” Ratu Eden tersenyum penuh kemenangan.
       
       “Sama-sama Yang Mulia. Sekarang apa yang harus kami lakukan?” tanya Rafael
   
      “Ada tugas khusus yang akan segera kalian lakukan,” kata ratu Eden. “Gerak-gerik lawan kita sepertinya sedang merencanakan sesuatu. Tugas kalian adalah untuk mengganggu dan menghentikan semua rencana mereka. Kalau perlu, habisi mereka dan juga manusia sialan itu!”


***


      “APA?! Aku harus ikut pergi ke negerimu itu?!” tanya Nabilah heran. “Bukankah tugasku hanyalah memberikan liontin ini kepadamu, tak lebih. Lagipula aku tak mungkin pergi meninggalkan rumah. Om dan tante pasti akan mencariku,” Nabilah merasa tak menyangka dirinya akan di ajak pergi oleh putri Pevita untuk sebuah misi di negerinya. Dia berusaha menolak ajakan itu, saat ini.

    Bulan purnama masih dengan nyalanya yang terang. Sementara Nabilah, Raline, Carlos dan putri Pevita masih berada di padang rumput. Pohon besar berdiri tegak di samping kelimanya. Terlihat portal seperti black hole di air terjun – tampak terbuka. Portal itulah pintu masuk ke negeri feliz. Dan sekarang Nabilah diminta tolong untuk ikut serta ke dalam portal itu.

     “Hanya dirimu yang bisa menolong kami,” kata Pevita. “Sesuai yang ada di buku wasiat, hanya dirimu yang bisa memetik flores de la felicidad. Kau adalah orang yang terpilih.”

     “Kenapa harus aku? Kenapa bukan kalian saja yang melakukannya?” Nabilah bersikeras dengan pendiriannya.

    “Kami tak bisa melakukannya,” jawab Carlos mendahului sang putri yang mau menjawab. “Seandainya kami yang memetik bunga itu, yang terjadi adalah bunga itu akan merubah menjadi debu dan lenyap dengan segera. Ku mohon, bantulah kami,” kali ini Carlos memohon sambil menundukkan kepalanya. Dia sangat berharap akan kesediaan Nabilah. Walau Nabilah tetap bersikeras untuk tidak ikut. Dia tidak mau terlibat lebih jauh lagi.

   “Tunggu dulu! Kenapa kalian tidak bisa memetiknya?! Kenapa bisa begitu?!” Nabilah semakin bingung.
     
   “Karena bunga itu tidak boleh sembarangan jatuh ke tangan orang lain,” kali ini Raline yang menjawab. “Kalau kami dan penduduk negeri feliz maupun seluruh benua Atlantis yang melakukannya, bisa saja nanti jatuh ke tangan yang jahat. Bunga itu bisa menghidupkan orang yang telah mati, bisa saja nanti digunakan orang jahat untuk menghidupkan Lucifer – iblis jahat yang jasadnya terpenjara di bawah lautan Atlantis,” mata Raline sekilas menyiratkan rasa takut, tatkala menyebut nama Lucifer. Iblis yang katanya berada di bawah lautan Atlantis.
    
    “Semakin bingung saja aku,” kata Nabilah. “Tetap saja aku tidak bisa mengikuti ajakan kalian. Aku akan tetap di sini dan kau Raven – pasti akan tetap menjaga dan menemaniku kan?” pandangan Nabilah tertuju kepada Raven yang dari tadi duduk bersandar di bawah pohon.
   
   Raven diam saja. Dia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Sorot matanya memancarkan keraguan.

    Dia seperti tidak mungkin meninggalkan rumahnya, tempat tinggalnya, dan juga tanah kelahirannya. Seperti itulah spekulasi yang kini ada di benak Nabilah, pasca melihat reaksi Raven yang hanya diam membisu dan terlihat ragu-ragu.
   
   “Bukankah kau sudah berjanji?! Kau akan selalu menjagaku dan selalu berada di sampingku?! Apapun yang terjadi,” Nabilah mulai histeris lagi. Hatinya seperti dipermainkan oleh lelaki bernama Raven yang telah berjanji untuk menjaga dirinya.
   
 “Sebenarnya aku memang berencana untuk meninggalkan Atlantis demi dirimu,” Raven menghela nafasnya. Dia sudah berani berterus terang. “Janjiku untuk menjagamu mengharuskanku untuk tinggal di duniamu, Nabilah. Kau tak perlu meragukan itu. Hanya saja...” tiba-tiba Raven tidak meneruskan ucapannya. Kepalanya tertunduk. Wajahnya terlihat murung.

“Hanya saja..? Maksudmu hanya saja kenapa?!” Nabilah semakin bingung.

“Sepertinya kau sudah melupakannya Nabilah,” jawab Raven. “Kau sudah lupa dengan ‘kutukan’ anak panah yang ada di lenganku ini. Kutukan ini akan segera merenggut nyawaku. Paling lama dalam 7 hari aku bisa bertahan hidup, bahkan bisa kurang. Makanya aku jadi ragu, apakah aku bisa memenuhi janjiku kepadamu,” Raven menunduk lesu.
          
“Astaga! Bagaimana ini?! Adakah yang bisa menyelamatkam nyawanya?!” Nabilah kembali histeris. Matanya terlihat berkaca-kaca.
          
Pevita kemudian berjalan mendekati Nabilah. Dia menepuk pundak Nabilah sambil berkata pelan, “Hanya kamu yang bisa menyelamatkan nyawanya. Caranya adalah dengan ikut kami ke negeri feliz, kemudian kau mencarikan flores de la felicidad untuk kami.”
          
“Tunggu dulu! Kau ini sebenarnya mau apa?! Kenapa hanya aku yang bisa menyelamatkan Raven?! Kenapa dengan bunga itu?! Kenapa-kenapa-kenapa?!!” tanya Nabilah dengan histeris. Dia berada diantara kebingungan dan keputusasaan yang semakin menjadi.
          
“Tenangkan dirimu,” kata Pevita. “Kami di sini tidak pernah ada maksud untuk membingungkan ataupun memanfaatkan dirimu. Kami di sini hanya ingin meminta pertolonganmu. Dan kebetulan ‘tujuan’ kami ini nantinya bisa menyelamatkan nyawa Raven.
          
“Tujuan kami mencari flores de la felicidad atau bunga yang bisa menghidupkan orang yang telah mati adalah untuk menghidupkan seseorang berkekuatan luar biasa. Seseorang yang kekuatannya setara dengan Eden, dengan julukan yang sama juga ‘initial E’, magician terkuat di negeri feliz. Seseorang yang bisa menghilangkan ‘kutukan’ jahat yang ada di lengan Raven.”
          
“Jangan-jangan yang kau maksud adalah...” Nabilah berusaha menebak namun tebakannya belum sempat diucapkan, langsung di jawab oleh Pevita.
          
“Ya. Dia adalah kekasihku, Ezhar Al. Dialah yang akan kami hidupkan dengan kekuatan flores de la felicidad. Hanya dia harapan satu-satunya yang bisa memenangkan peperangan. Hanya dia yang bisa mengalahkan Eden,” mata Pevita berbinar-binar, tatkala dia menyebutkan nama Ezhar Al – orang yang paling dicintainya.
          
“Saat ini tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain berharap pada harapan terakhir yaitu flores de la felicidad. Kami sudah hampir putus asa,” kata Pevita lirih. “Sekecil-kecilnya harapan itu akan tetap kami kejar. Dan yang bisa mewujudkan harapan kami itu hanyalah dirimu, Nabilah. Kau lah secercah cahaya. Bagi kami, kau adalah orang yang terpilih. Kau itu spesial. Kumohon kesediaanmu untuk ikut denganku. Demi rakyatku dan juga demi Reven,” kali ini permohonan terakhir Pevita kepada Nabilah.
          
Nabilah menghela nafas panjang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu.
          
“Sepertinya tak ada pilihan lain lagi,” ucap Nabilah.

“Baiklah! Aku akan ikut, tapi ini demi menyelamatkan nyawa Raven. Tapi, aku tidak bisa ikut sekarang. Aku minta waktu 2 hari untuk mempersiapkan segalanya. Pakaian, makanan dan lain sebagainya. Juga untuk meminta izin kepada om dan tanteku dan juga teman-temanku.”

“Tunggu dulu! Kau mau memberitahukan kepergianmu kepada orang-orang terdekatmu?!” Tiba-tiba Raline memotong penjelasan Nabilah. “Ini tidak boleh diketahui siapapun. Hanya satu orang manusia yang boleh tahu keberadaan Negeri kami, yaitu kau seorang.” Wajah Raline nampak sengit.

“Hmm.. tidak juga. Aku hanya akan beralasan menginap di rumah sahabatku diluar kota. Mungkin selama 7 hari ya?” Nabilah menenangkan. “Tapi yang pasti, aku tidak akan membocorkan semua rahasia kalian. Semuanya tentang negeri kalian akan aku tutup rapat-rapat di kepalaku.”

“Apa kau berani bersumpah?” tantang Raline.

“Tapi tunggu dulu,” Raline melanjutkan pembicaraannya lagi. “Setelah ini kau harus berjanji, setelah misi ini selesai, kau harus bersedia meminum insumnio bebidas. Ramuan penghilang ingatan dari negeri kami. Setelah kau meminum itu, semua ingatan tentang negeri feliz dan benua Atlantis akan hilang seketika. Bagaimana?”

“Baiklah. Aku berjanji tidak akan membocorkan semua rahasia dalam 2 hari ini. Dan aku juga berjanji akan meminum ramuan itu sesuai keinginanmu,” Nabilah menuruti perkataan Raline.

“Sekarang bagaimana? Apakah kita kembali dulu ke negeri kita?” tanya Raline kepada Pevita yang ada di sampingnya.

“Iya. Kita harus pulang sekarang. Aku akan menambah kekuatan pertahanan negeri kita dengan liontin ini,” putri Pevita menggenggam erat liontin yang ada di tangannya. “Terima kasih Nabilah. kau sudah menjaga liontin ini dengan baik. Aku yakin di misi selanjutnya, kau pasti bisa menyelesaikan dengan baik,”

“Iya sama-sama. Semoga saja bisa,”jawab Nabilah dengan nada optimis namun agak ragu juga. Dia masih bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya mengenai hal-hal yang akan segera di hadapinya ke depan. Yang pasti dia harus mulai terbiasa berada di sebuah negeri yang sangat asing. Negeri yang tak ada di peta, negeri yang sarat akan mistis di dalamnya. Lagipula Negeri itu sedang dalam masa peperangan. Pastinya akan sangat berbahaya berada di sana. Namun, biar bagaimanapun dia harus menyelamatkan nyawa orang yang dicintainya – Raven.

“Tu-tunggu dulu! Apakah aku juga ikut kalian?!” tanya Raven tiba-tiba. Dia terkejut ketika Carlos mendorongnya supaya mengikuti arah berjalan Raline dan Pevita.

“Iya. Banyak hal yang harus aku selidiki dari dirimu,” kata Pevita.

“Atau bisa juga kau akan kami introgasi. Banyak informasi yang kau ketahui kan?” Raline menambahkan.

“Hei-hei tunggu dulu. Bukankah aku harus menjaga Nabilah?” Raven berusaha membela diri.

“Sekarang sudah tidak ada ancaman lagi yang akan menimpa Nabilah,” jawab Pevita. “Ancaman satu-satunya cuma kamu saja kan, sewaktu masih menjadi bawahan Eden?

“Lagipula sekarang liontin yang diincar Eden ini sudah ada padaku. Jadi tidak mungkin lagi mereka mengincar Nabilah. Dalam dua hari ini pasti akan aman,” kata Pevita.

“Bagaimana dengan portal yang ada di air terjun? Bisa saja kan bawahan Eden datang lagi ke sini dan menculik aku?” Kali ini Nabilah yang bersikeras untuk minta perlindungan Raven.
        
“Wah, rupanya aku lupa memberitahukan,” potong Raven. “Sebenarnya portal itu berhasil aku hancurkan dengan segenap kekuatanku. Butuh waktu berhari-hari untuk melakukannya. Makanya aku menghilang dalam beberapa hari ini. Selain, aku harus menghilangkan pengaruh jahat ratu Eden, aku juga menghilangkan portal black hole yang tentu akan mengancam nyawamu. Sekarang tidak ada lagi makhluk dari dark of feliz  yang bisa datang ke dunia nyata, haha.”
          
“Aduh. Ucapanmu itu sama saja artinya dengan ‘tidak perlu menjagaku’?” kata Nabilah dengan nada kecewa.
          
“Astaga! Aku kelepasan. Maaf maaf,” Raven menyesali penjelasan sebelumnya. Penjelasannya itu justru membuat dirinya tidak bisa dekat dengan Nabilah – setidaknya dalam 2 hari ke depan.
          
“Ya sudah. Kau ikut dengan kami. Banyak hal yang akan kita bicarakan,” tegas Raline. Raven pun mengangguk. Namun sebelum beranjak, dia mendekati Nabilah
          
“Aku pergi dulu Nabilah. Jaga dirimu baik-baik. Kita akan segera bertemu lagi,” kata Raven. Tangannya kemudian memegangi tangan Nabilah.
          
“Kau juga. Hati-hati ya, Raven,” kata Nabilah. Tangannya perlahan melepaskan pegangan dari Raven. Matanya tak henti menatap kepergian Raven bersama rombongan negeri feliz yang berjalan menuju ke pohon besar.
          
Portal pun terbuka. Mirip dengan black hole, tapi tidak memiliki daya hisap.  Lagipula warnanya putih terang, bisa dibilang white hole. Pevita pun berjalan memasuki white hole itu. Kemudian disusul oleh Raline dan terakhir Carlos yang memegangi tangan Raven.
          
Tidak lama kemudian, kelima orang itu menghilang dihadapan Nabilah. Bersama dengan cahaya white hole yang juga menghilang seketika. Yang tersisa hanyalah pohon besar yang masih berdiri kokoh di hadapan Nabilah. Suasana sunyi di malam yang semakin larut. Bulan purnama tetap terang benderang. Hembusan angin dingin masih terasa di padang rumput itu. Nabilah memandangi jamnya yang sudah menunjukkan pukul 01 malam. Dia pun bergegas pulang menuju ke rumahnya. Rupanya rasa kantuk tiba-tiba menghantuinya membuatnya dengan cepat berjalan. Berjalan sendirian di malam hari, ditemani kesunyian.


          
“Malam ini aku sudah melihat semuanya. Pertanyaanku terjawab. Keraguanku berakhir. Dan cahaya terang kembali menerangi hatiku. Namun ada hal berat yang harus kulakukan. Demi dia, aku rela harus berjalan lebih jauh lagi ke arah kegelapan. Kekuatan tekadku menerangi jalan yang akan segera kulalui. Kekuatan tekad yang bernama cinta...”

(Nabilah Zahra)


***


          
Alarm di handphone Nabilah berbunyi nyaring. Seketika matanya terbuka.

Dengan cepat pandangannya di arahkan ke jam yang ada di dinding kamarnya. Terlihat jarum pendek berada di angka 7, jarum panjang di angka 3. Jam 07.15 pagi.

          
Dengan cepat Nabilah meraih handphonenya. Dia langsung BBM kepada Febby, Stella dan Dhini. Isinya BBM nya adalah mengajak jalan-jalan ke Mall. Kebetulan mall itu letaknya di kota – yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari rumah Nabilah.

Rupa-rupanya ketiga teman Nabilah itu tidak jadi rekreasi. Mereka memutuskan membatalkan saja, karena Nabilah yang tidak bisa ikut. Sehingga Nabilah bisa mengajak mereka untuk jalan-jalan kapan saja. Dan pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketiga sahabat terbaik Nabilah itu mau diajak ke mall.


“Tumben sekali nih mengajak jalan-jalan ke mall,” Febby memulai percakapan.

“Ya begitulah. Entah kenapa, lagi mau mengajak kalian jalan-jalan bersama. Mumpung masih liburan juga. Lagipula rasa kangen juga, tidak bertemu selama 2 hari, hahaha,” jawab Nabilah sambil menunjukkan tawa khasnya. “Lama sekali ya Dhini dan Stella,” Nabilah gelisah sambil menatap arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 10.00.

“Mereka lagi di jalan mungkin,” sahut Febby.

Pagi itu suasana rumah Nabilah sepi karena hanya ada dia dan Febby yang duduk santai di sofa ruang tamu Nabilah. Om Wisnu dan tante Shireen masih di luar kota. Sementara Bi Surti lagi belanja di pasar. Kedua sahabat itu mengobrol semakin asyik, menghilangkan suasana hening yang sebelumnya terjadi.

Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari depan rumah Nabilah. Dia pun langsung bergegas menuju ke depan rumah. Di sana menanti mobil Honda Jazz berwarna kuning yang di dalamnya ada dua orang gadis yang sedang tertawa-tawa bersama. Yang satu menyetir, yang satunya duduk di sampingnya. Mereka kemudian menyapa Nabilah

“Maaf menunggu lama teman-teman. Tadi baru antri bensin,” Stella memulai basa basi yang sebenarnya tidak terlalu penting Maklum, kita kan mau keliling kota. Jadi segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sangat matang, biar penumpang tidak kecewa.

“Ayo-ayo cepat naik. Nanti keburu siang, “ kata Stella sembari mengisyaratkan agar Nabilah dan Stella masuk ke kokpit belakang mobil itu.

Tanpa menunggu terlalu lama, Nabilah dan Febby langsung masuk ke bagian belakang mobil.

“Berangkaat...!” seru Dhini diiringi suara gas mesin dari mobil milik Stella itu. Mobil pun langsung meluncur dari halaman rumah Nabilah.  Bi Surti yang baru datang – hanya bisa melongo di depan pagar rumah. Mobil itu melaju dengan kencang, terlihat sekilas lambayan tangan Nabilah yang ditujukan kepada bi Surti. Mobil pun semakin menjauh dari pandangan pembantu rumah Nabilah itu.

“Tak ada yang lebih menyenangkan daripada jalan-jalan bersama seperti ini, asyiik,” seru Dhini tiba-tiba. Dia terlihat antusias.

“Yeah.. senang sekali rasanya bakalan menghabiskan waktu bersama kalian semua,” Nabilah yang duduk di jok belakang ikut menimpali. Raut wajahnya terlihat bahagia sekali. Padahal dalam hatinya berkata, mungkin ini kebersamaan terakhir bersama teman-temannya sebelum dia harus pergi selama beberapa hari di neger feliz. Padahal perginya tidak terlalu lama, namun tidak ada jaminan dia bisa pulang kembali. Terlebih di Negeri itu banyak sekali orang-orang jahat yang akan mengancam nyawanya. Tugas yang akan diembannya di sana pastilah beresiko. Namun, Nabilah tetap memegang janji Raven yang akan selalu menjaga dirinya, membuatnya merasa aman. Kini Nabilah sedikit yakin, kebersamaannya bersama Raven akan menjadi suatu kekuatan tersendiri yang membuatnya tidak akan menyerah begitu saja – ketika nanti menjalani misi berat itu.

Khusus untuk hari ini, Nabilah memfokuskan pikiran dan perasaannya untuk ketiga sahabat terbaiknya. Dia ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Bersenang-senang bersama, tertawa bersama, menghabiskan momen indah bersama.


“Persahabatan itu bagaikan lingkaran putih. Selalu terhubung dan takkan pernah terputus. Indahnya persahabatan tak bisa dijelaskan. Karena indahnya persahabatan itu hanya bisa dirasakan. Ketika kita sedang senang, sahabat kita tidak akan marah ketika harus ditinggalkan. Namun ketika kita sedih, sahabat kitalah yang pertama kali akan datang untuk menemani."

Hargailah persahabatan, seperti sesuatu yang amat berharga yang harus tetap terjaga sepanjang masa..”


(Nabilah Zahra)


Seharian keempat sahabat itu menghabiskan waktu mereka di mall yang ada di kota Bandung. Mereka tertawa bersama, bercanda bersama dan belanja bersama.  Mereka sangat menikmati momen liburan hari itu. Berjam-jam dan tanpa rasa bosan mereka berkeliling mall, menonton bioskop, makan-makan di food court sampai dengan memanjakan hobby wanita pada umumnya, yaitu shopping alias belanja.

Terlihat Stella lah yang paling banyak memborong belanjaan. Jumlahnya 2 kali lipat teman yang lainnya. Dia memang terkenal lapar mata. Apa yang dia lihat langsung dia beli. Kebetulan dia termasuk yang berdompet tebal seperti halnya Nabilah

Sementara itu, belanjaan Nabilah yang didominasi oleh makanan, seperti cemilan, roti, popmi, serta makanan kaleng. Dapat dilihat dari berat badannya yang sejalan dengan hobi makannya. Namun belanjaan Nabilah kali ini sepertinya sedikit berlebihan. Dia seperti sedang mempersiapkan untuk sebuah perjalanan jauh. Kemungkinan untuk perjalanannya besok lusa, menuju ke negeri ‘antah berantah’. Perjalanan yang harus dipersiapkan semaksimal mungkin, baik dari segi kesiapan mental, maupun juga faktor pendukung lain – semisal konsumsi. Mungkin saja makanan di negeri itu tidak cocok dengan selera Nabilah, sehingga dia memutuskan untuk membawa bekal sendiri yang lumayan banyaknya. Walau kebanyakannya adalah makanan yang instan alias cepat saji.


“Huuft.. capek juga ya habis di mall seharian. Apalagi banyak barang belanjaan yang dibawa huhu” keluh Stella. Kali ini dia berjalan lebih lambat menuju tempat parkir mobil, disusul Nabilah, Dhini dan Febby.

“Kau juga sih.. Belanja habis-habisan. Jadinya banyak bawaan pas jalan kaki seperti ini,” sahut Febby yang sedikit sinis menanggapi keluhan Stella itu.

“Haha.. tak apalah. Yang penting hati senang, puas dan asyiik,” kali ini Stella yang kemudian berbalik menjadi senang.

Tidak lama kemudian sampailah keempat gadis itu di mobil honda jazz warna kuning milik Stella. Mereka langsung masuk ke dalam mobil bersama kantung-kantung besar yang penuh dengan belanjaan mereka. Kali ini mobil Stella terasa lebih penuh ketimbang perjalanan sewaktu hendak ke mall.

Mobil pun dihidupkan, dan kemudian langsung berjalan pelan meninggalkan area parkiran di mall itu.

“Terima kasih teman-teman. Terima kasih karena mau menemaniku hari ini. Aku sangat senang,” tiba-tiba Nabilah mengucapkan sesuatu diiringi senyum mengembang di wajah. Mobil yang mereka tumpangi kini tengah berada di tengah jalan. Melewati jalanan kota yang ramai dengan hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang.

“Hah?! Apa aku tidak salah dengar?!Tumben kau berterima kasih, biasanya tidak. Jangan-jangan tadi salah makan ya, haha,” canda Stella. Dia yang sedang menyetir dengan konsentrasi tinggi, masih sempat berkelakar.

“Serius nih teman-teman. Aku benar-benar mengucapkan terima kasih, seharian ini kalian mau menghabiskan waktu bersamaku. Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku.

“Biasa saja kali, Nabilah,” kali ini Febby yang menyahut.

“Yeah, mungkin bagi kalian hari ini terasa biasa saja. Bagiku, hari ini sangatlah berarti karena mungkin – setelah ini kita tidak akan bertemu lagi. Dalam beberapa hari, atau mungkin lebih dari itu,” Nabilah perlahan mulai mengungkapkan maksud perkataannya.

“Maksudmu?! Memangnya kamu mau pindah sekolah ya Nabilah?” Stella mulai bingung dengan gelagat Nabilah. Namun dia tetap fokus pada mobil yang sedang disetirnya dengan kecepatan sedang itu.

“Iya nihh. Seperti mau pergi jauh saja,” Dhini yang duduk di samping Stella ikut menimpali.

“Yeah, ada sesuatu hal yang membuatku harus pergi dalam beberapa hari. Mungkin aku juga harus minta izin untuk tidak masuk sekolah. Hal ini sangat penting dan tak bisa ditinggalkan begitu saja. Maklum lah, aku kan orang penting. Jadinya banyak hal-hal penting yang selalu menghantuiku, haha,” kali ini Nabilah berbicara dengan candaan khasnya yang terkesan memuji diri sendiri.

“Tapi serius. Aku memang akan pergi ke luar kota dalam beberapa hari ini. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Jadi, hari ini aku bermaksud memberitahukan kepada kalian, kalau kita tidak akan bertemu dalam beberapa hari ini.”

“Wah. Sepi jadinya kelas kita nanti kalau kamu tak ada. Jadi membosankan kalau tidak ada yang dijahilin,” canda Stella sambil tertawa sendiri.

“Ya sudah kalau begitu,” kata Febby. “Kamu jaga diri saja baik-baik, nanti urusan minta ijin sama bu Cynthia – biar aku saja yang handle. Kamu selesaikan saja urusan pentingmu itu, okey?”

“Oke. Terima kasih ya teman-teman. Yang pasti aku akan merindukan kalian. Walau terpisah Cuma beberapa hari saja,” terlihat raut sedih di wajah Nabilah. Namun di dalam hatinya merasa lega, karena dia sudah ‘pamit’ kepada ketiga sahabatnya itu.

Mobil honda jazz kuning terus melaju melewati jalan tol. Di dalamnya ada 4 orang sahabat yang sedang asyik mengobrol. Kadang tertawa, kadang bersuara kencang. Ciri khas pergaulan gadis remaja pada umumnya.

Di benak Nabilah, inilah momen indah yang takkan mungkin dilupakan Nabilah. Sebelum dia pergi menuju ke negeri ‘antah barantah’. Tidak ada jaminan apakah dia akan bisa kembali atau tidak. Misi yang akan segera dilaksanakannya pastilah akan sangat sulit. Penuh dengan rintangan dan tentunya sangat membahayakan bagi nyawanya sendiri.


***


“Aku tak ingin mengucapkan selamat tinggal kepada para sahabat. Namun, itulah yang sekarang yang aku rasakan. Aku merasa aku tak akan kembali lagi. Aku merasa hari ini adalah hari terakhirku bersama mereka. Walau demikian, aku merasa sangat bahagia menghabiskan ‘hari terakhir’ bersama mereka, setidaknya saat ini yang kurasa adalah bahagia, ceria dan menyenangkan ketika bersama mereka..."

(Nabilah Zahra)




Malam itu Nabilah tak bisa tidur. Padahal badannya sangat lelah setelah berjalan-jalan seharian bersama para sahabatnya.

Ketika itu Nabilah sudah menuntaskan tugasnya untuk ‘pamit’ kepada mereka. Namun, masih tersisa satu hal yang tak kalah pentingnya. Bagaimana Nabilah harus pamit kepada orang terdekatnya, yaitu Om Wisnu dan tante Shireen yang kini berada di luar kota. Tentunya juga dengan Bi Surti yang sekarang tinggal berdua dengannya.

Keesokan harinya, Nabilah kemudian menelpon omnya yang kini berada di luar kota.

“Hallo om! Apa kabar? Aku kangen sekali sama om dan tante,” kata Nabilah memulai percakapan.

“Hallo, Nabilah. Om dan tante di sini baik-baik saja. Kamu bagaimana di sana?”

“Aku juga baik-baik saja. Begini om, ada satu hal yang ingin kukatakan kepada om juga tante. Aku mau minta izin untuk sesuatu hal.”

“Syukurlah kalau begitu. Iya katakan saja.”

“Tapi sebelumnya aku mau tanya, kapan om dan tante pulang?”

“Hmm.. Sebelumnya kami mau pulang dua hari lagi, tapi karena di sini masih ada urusan yang sangat penting – jadinya kepulangan kami bisa sampai seminggu lagi. Maaf ya baru memberitahukan. Padahal om dan tante ingin cepat pulang dan bertemu dengan mu. Melepas kangen kepada keponakan tercinta,hehe.”

Nabilah terdiam sejenak. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ucapan terakhir omnya itu membuat Nabilah mengubah rencananya.

“Hallo.. Nabilah? Kenapa suaramu hilang? Hallo?”

“Tadi kamu mau mengatakan sesuatu kan?”

“I-iya om. Tadi aku mau mengatakan kalau aku mau ulangan akhir semester. Jadinya aku mau belajar sungguh-sungguh dalam beberapa hari ini, soalnya nilai pelajaran ku tidak terlalu bagus dan perlu untuk belajar lebih giat lagi. Efeknya mungkin ponsel ku sering tidak aktif. Karena aku mau benar-benar fokus.


“Kalau mau menanyakan kabar, lewat telepon rumah saja. Kalau aku tidak ada di rumah, kan ada bi Surti yang akan memberitahukan lewat telpon rumah. Aku memberitahukan ini supaya om dan tante tidak khawatir kalau-kalau ponselku nantinya tidak aktif.”

“Oo.. begitu ya Nabilah. Om kira mau minta izin mau pergi ke mana, haha. Ya sudah, belajar yang rajin ya. Om doakan semoga nilai ulangannya bagus.”

“Amiin.. Makasih om atas doanya. Nabilah sayang sama om.

“Oh iya, tante ada di sana tidak? Aku mau bicara sebentar.”

“Iya. Sebentar om panggil dulu.”

Terdengar suara Om wisnu memanggil istrinya. 10 menit kemudian, terdengar suara tante Shireen dari telepon Nabilah.

“Hallo sayang. Tante kangeen sekali sama kamu. Bagaimana keadaan kamu? Sehat saja kan?

“Iya tan. Aku baik kok. Tante di sana baik juga kan? Nabilah kangen juga niih.”

“Iya tante baik kok. Nanti beberapa hari lagi tante juga pulang ya. Masih ada urusan yang harus diselesaikan om Wisnu dalam sminggu ini.”

“Iya tan. Tadi sudah dikasih tau sama om juga. Nabilah Cuma mau bilang kalau Nabilah sayaang banget sama tante. Nabilah juga mau berterima kasih karena tante dan om sudah mau menjaga Nabilah selama ini. Tante dan om sudah Nabilah anggap sebagai orang tua sendiri. Miss you so much.”

“Iya tante juga sayang sama kamu. Wah tumben nih berterima kasih hehe. Itu sudah menjadi tugas tante dan om yang akan selalu menjagamu setiap saat. Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri. Miss you too, darl.”

“Ya sudah tante. Aku mau belajar dulu. Sampaikan salam sayangku kepada om juga. Bye tante. Love you.”

“Love you too, honey. Sampai jumpa.”
          
Telepon pun ditutup. Nabilah sudah merasa lega. Semuanya sudah tersampaikan.
          
Namun, kali ini dia terpaksa berbohong demi kepergiannya. Dia tidak memberitahukan kalau dia akan pergi keluar rumah. Situasinya mendukung, karena om dan tantenya menunda kepulangan mereka. Cukup dengan alasan simpel saja sudah cukup.
          
Tinggal satu hal lagi yang harus dilakukan Nabilah, yaitu meminta ijin kepada bi Surti yang tinggal bersamanya saat ini. Dan itu sedikit lebih sulit dari yang sebelumnya.
          
Saat makan siang, Nabilah mengajak bi Surti untuk makan bersamanya di meja makan keluarga. Ada sesuatu hal yang akan di sampaikannya kepada pembantunya itu.
          
“Bi, aku mau minta tolong sama bibi boleh?” tanya Nabilah kepada bi Surti yang duduk disampingnya. Keduanya baru saja menghabiskan santap siang yang ada di meja makan.
          
“Iya non Nabilah. Mau minta tolong apa?” wajah polos bi Surti menunjukkan raut bingung.
          
“Begini bi. Dalam beberapa hari ke depan aku mau kemping bersama teman-teman. Mungkin sekitar 7 hari saja bi. Boleh ya bi?” kata Nabilah dengan nada memohon. Walaupun yang diucapkannya adalah sebuah kebohongan, yang terpaksa harus dilakukannya.
          
“Waduh, non. Bibi tidak berani ngizinin. Gimana kalau tanya sama tuan dan nyonya dulu?” bi Surti terlihat cemas.
          
“Tidak usah, bi. Tadi om dan tante sudah aku telepon. Katanya mereka mau menunda kepulangannya. Ada urusan penting kata om. Makanya, pas sekali. Kebetulan aku diajak teman-teman untuk mengisi liburan ini,” kata Nabilah kembali dengan nada memohonnya. Sebenarnya liburannya hanya tinggal sehari lagi, yaitu besok. Dan lusa dia harus kembali masuk sekolah. Namun dia tidak memberitahukan itu kepada pembantunya itu.
          
“Waduh.. bagaimana ya non. Nanti kalau tuan nelpon, trus non Nabilah tidak ada, bibi harus gimana?” bi Surti masih terlihat cemas.
          
“Tenang saja bi. Tadi sudah aku telepon ke om dan tante, kalau aku akan sibuk belajar. Nanti ponselku jarang aktif. Nanti kalau om atau tante mencariku, katakan saja kalau aku sedang sibuk belajar. Dan bilang saja kalau aku sehat-sehat saja dan tidak telat makan. Tadi aku sudah bilang begitu kepada om dan tante. Kalau aku bakalan sulit dihubungi, setidaknya dalam beberapa hari ke depan.”
         
          
“Non kenapa berbohong kepada tuan dan nyonya. Nanti bibi loh yang kena getahnya.”
          
“Ya kalau aku tidak bohong, nanti pasti tidak diizinkan om dan tante. Please ya bi. Bibi tenang saja, aku pasti baik-baik saja kok. Kempingnya juga tidak jauh dari sini. Lagipula dekat dengan rumah saudaranya temanku,” Nabilah dengan lihai melanjutkan kebohongannya. Kebohongan yang berlapis-lapis.
          
Lumayan lama Nabilah menunggu bi Surti memutuskan. Pada akhirnya, wanita tua itupun mengangguk. Dia mengizinkan majikan mudanya itu untuk kemping beberapa hari. Walau dengan ragu dan terpaksa. Dan hal itu membuat Nabilah sedikit lega. Lengkap sudah ‘izin’ dari orang-orang terdekatnya. Seandainya dia tidak minta izin dan ‘pamitan’, kemungkinan mereka-mereka lah yang akan pergi mencari dirinya.

Bi Surti adalah orang yang ke 7 yang terpaksa harus dibohonginya. Febby, Stella, Dhini, om Wisnu dan tante Shireen adalah ‘korban’ lainnya. Tapi mau bagaimana lagi, semua demi menyelamatkan nyawa orang yang dicintainya – dia terpaksa berbohong untuk memuluskan jalannya menuju negeri ‘sebelah’. Menuju kepada perjalanan yang tidak menjamin untuk dirinya bisa kembali pulang ke rumah.

Perjalanan yang akan dihadapi Nabilah ini adalah ‘puncak’ dari hal-hal aneh yang selama ini dialami dirinya. Mulai dari mimpi pertama sampai mimpi yang kesekian. Mengingatkan Nabilah kembali kepada kedua orang tuanya. Adalah hal yang mustahil, ketika Nabilah masih berharap mengenai petunjuk keberadaan kedua orang tuanya. Harapan yang sangat kecil dan bahkan hampir mendekati nol. Walaupun hanya bermodalkan petunjuk ketika bertemu di alam mimpi, Nabilah tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk terjun lebih dalam ke dalam semua keanehan ini. Keanehan yang tak bisa diterima akal sehat. Seperti dalam film-film fantasi yang sering ditonton Nabilah. Namun hal-hal aneh ini yang mempertemukannya dengan orang yang dicintainya, Raven. Dan yang dilakukannya ini sedikit banyak adalah demi menyelamatkan nyawa orang yang sangat dicintainya itu.


“Ketahuilah jalan yang akan ku tempuh bukanlah sesuatu yang mudah. Aku mengambil semua resiko yang seharusnya tidak aku ambil. Namun, jika aku tidak mengambil resiko itu, maka aku pasti akan menyesal. Dan penyesalan itu pastilah lebih ‘sakit’ rasanya, daripada menanggung resiko yang harus ku ambil. Itulah pilihan yang sulit yang mau tidak mau harus ku pilih salah satunya. Dan aku memilih ‘resiko’ ketimbang ‘penyesalan’..."

(Nabilah Zahra)


Malam itu, tepat 45 jam berlalu semenjak pertemuan Nabilah secara langsung dengan Pevita dan teman-temannya. Semenjak itu pula dirinya mengetahui semua jawaban dari segala pertanyaannya. Dan malam itu pun Nabilah tengah bersiap untuk berangkat menuju ke negeri ‘antah berantah’.

“Jadi non berangkatnya malam ini juga ya? Ini kan sudah jam 9 malam non,” bi Surti nampak khawatir tatkala mengetahui kalau Nabilah akan berangkat malam itu juga. Apalagi malam sudah semakin larut. Terlihat jelas di jam dinding di kamar Nabilah menunjukkan jam 9 malam lewat sedikit.

“Iya ini mendadak bi,” jawab Nabilah. Lagi-lagi dengan kebohongannya. “Nanti teman aku menjemput di depan komplek. Jadi aku jalan kaki dari sini,” lanjut Nabilah yang kini sedang sibuk mempersiapkan ransel dan segala sesuatu untuk persiapan kepergiannya selama beberapa hari. Beberapa makanan dan cemilan yang di belinya sewaktu di mall bersama sahabatnya – juga menjadi salah satu persiapannya.
          
“Waduh. Malam-malam jalan kaki sendirian. Nanti kenapa-kenapa bagaimana non?” kekhawatiran bi Surti semakin menjadi.
          
“Tenang bi. Aku kan sudah biasa jalan kaki sendirian. Apalagi malam hari. Baru beberapa hari yang lalu kan sudah pernah kulakukan. Jadi tenang saja, everything’s will be okay,” Nabilah tersenyum simpul kepada pembantunya itu. Bi surti hanya bisa diam dan tak bisa melarang kekerasan hati majikannya itu.
         
          
“Aku pamit dulu ya bi. Maaf sudah meninggalkan bibi sendirian di rumah. Jaga diri bibi baik-baik,” Nabilah berpamitan kepada pembantunya itu. Saat ini keduanya berada di depan rumah.
          
“Aku sayang bibi,” tiba-tiba Nabilah langsung memeluk pembantunya itu. Bi surti hanya bisa melongo. Namun, seketika beliau membalas pelukan itu sambil mengelus punggung Nabilah
          
“Jaga diri non baik-baik ya. Hati-hati di jalan ya non. Jangan lupa jaga kesehatan,” ucapan tulus dari bi Surti yang memang sangat menyayangi Nabilah.

Sudah bertahun-tahun mereka bersama, sejak Nabilah masih kecil. Sangat wajar kalau mereka saling menyayangi satu sama lainnya.

Nabilah pun berangkat. Dia berjalan kaki menuju tempat ‘pertemua’ nya dengan Pevita sebelumnya. Berjalan sendirian di malam hari yang dingin. Namun bulan masih terang karena baru 2 hari yang lalu bulan purnama total terjadi. Dan hari ini menjadi antiklimaksnya.

Ransel Nabilah yang penuh tidak membuat Nabilah memperlambat langkahnya. Dia justru semakin terbiasa berjalan kaki walaupun dengan bawaan yang berat.

Langkah demi langkah Nabilah menyusuri jalanan pedesaan dengan pemandangan sawah di malam hari. Menuju ke jalan setapak menuju padang rumput. Suasana malam yang sepi, tak ada seorang pun di jalanan itu membuat Nabilah semakin mempercepat langkahnya. Tidak terasa, Nabilah pun akhirnya sampai di padang rumput. Dengan cepat dia mendatangi pohon besar yang beberapa puluh meter jaraknya dari posisinya berada.

Pohon besar itu terlihat sangat gelap, tak ada seorang pun di sana. Nabilah kemudian memutuskan untuk duduk di bawahnya dan menunggu kedatangan Pevita dan kawan-kawan. Sesekali dia menatap arlojinya yang terus berputar detik demi detik dan menit demi menit. Terkadang dia juga seperti menggigil sendiri karena dinginnya angin malam. Walaupun dia memakai jaket, dinginnya malam tetap bisa menembus jaket dan pakaiannya, menghujam kulitnya, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Nabilah pun harus lebih sabar lagi menunggu dan terus menunggu.

Mata Nabilah menatap ke atas langit malam. Bulan nampak terang memancarkan sinarnya. Bintang-bintang di sekitarnya juga memancarkan sinar masing-masing, dengan ukuran yang lebih kecil. Bintang-bintang itu seperti membentuk pola yang sangat indah, di mana ada 7 buah bintang yang menyala sangat terang. 7 bintang itu seperti mewakili jumlah orang-orang terdekat Nabilah. Febby, Stella, Dhini, Om Wisnu, tante Shireen dan juga bi Surti. Ke 7 bintang itu seperti tersenyum terang ke arah Nabilah. Nyala mereka yang indah membuat Nabilah terkesima melihatnya. Keindahan bintang-bintang itu seperti merefleksikan kenangan-kenangan indah yang pernah dialami Nabilah. Kenangan bersama orang-orang terdekatnya, membuatnya teramat bahagia. Namun kini, dia harus pergi meninggalkan mereka. Bisa sementara, bisa juga untuk selamanya. Perjalanan ini bisa saja antara memakai ‘tiket pulang-pergi’, atau sekedar ‘tiket satu arah’. Semua tergantung dari apa yang akan terjadi nanti di sana. Di sebuah negeri asing, dengan berbagai makhluk mistis dan juga hal-hal mistis yang akan segera terjadi. Semua itu harus segera dihadapi Nabilah. Hatinya sudah bulat untuk melakukan perjalanan beserta misi yang akan diembannya. Misi berat dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Tentunya hal itu dilakukannya untuk 2 tujuan, menyelamatkan nyawa Raven yang tinggal beberapa hari lagi – serta mencari petunjuk keberadaan kedua orang tuanya yang hilang. Khusus yang kedua, Nabilah tidak terlalu banyak berharap. Karena hal itu hampir mustahil. Namun, tidak salahnya juga untuk tetap di cari tahu. Setidaknya itulah yang saat ini dipikirkan Nabilah, seraya memandangi lautan bintang ditengah samudera langit yang gelap.

Tiba-tiba lamunan Nabilah dikejutkan oleh sesuatu yang terang dari belakang tubuhnya. Dia langsung membalikkan badannya dan melihat sebuah cahaya putih – semacam white hole, tepat di pohon besar yang ada di belakangnya. Dari cahaya itu muncul seorang pria berbadan tinggi yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sosok pria yang sering ditemui oleh Nabilah sebelumnya, dan dianggapnya musuh. Dialah Carlos.

“Apakah kau sudah lama menunggu?” tanya Carlos. “Akulah yang bertugas menjemputmu. Maaf terlalu lama”

“Wah rupanya kau,” Nabilah terlihat sedikit kecewa. Yeah, tidak terlalu lama juga. “Mana yang lainnya?”

“Yang lain sudah menunggu di istana,” jawab Carlos. “Hmm.. Sebelumnya kita belum berkenalan. Namamu Nabilah kan? Perkenalkan aku Carlos,” Carlos memberanikan diri memperkenalkan dirinya. Orangnya terlihat sedikit pemalu, tapi dia lebih dulu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Nabilah.

“Iya namaku Nabilah,” jawab Nabilah sedikit ketus. Dengan berat dia mengulurkan tangannya untuk membalas uluran tangan Carlos. Rupa-rupanya Nabilah masih merasa kecewa dengan Carlos. Selama ini Carlos membuntutinya diam-diam, selain itu dia juga hampir saja membunuh Raven – sewaktu masih bernama Aliando. Waktu itu, dia mendorong Raven dari tebing. Beruntung Raven masih sempat memegangi bebatuan di tepi tebing, sehingga nyawanya terselamatkan. Hal itulah yang membuat Nabilah sedikit kecewa dengan Carlos. Walau pada akhirnya Carlos ada di pihak yang baik.

Suasana terasa sedikit canggung diantara mereka berdua. Sampai kemudian Carlos mengarahkan Nabilah supaya mengikutinya berjalan menuju ke dalam portal bercahaya putih, semacam white hole yang ada di depan pohon besar.

Carlos yang lebih dulu berjalan kemudian terhenti. Dia melihat Nabilah seperti ragu dan enggan memasuki ‘portal’ bercahaya itu.

“Kenapa kau? Ayo cepat, nanti portalnya akan tertutup,” seru Carlos.

Nabilah hanya diam saja. Dia berusaha melangkahkan kakinya dengan berat hati. Rupanya keyakinan di dalam hatinya masih dipengaruhi oleh rasa takut.

Dia kemudian memejamkan matanya, membiarkan langkah kakinya melangkah menuju cahaya terang itu. Instingnya mengharuskan dirinya untuk memejamkan mata.

Langkah demi langkah dilaluinya. Perlahan terasa perubahan yang dialaminya. Suhu malam hari yang tadinya dingin menusuk, berubah jadi menghangat. Semakin jauh berjalan dia merasa tubuhnya semakin hangat. Walau begitu, dirinya masih enggan membuka mata. Dia seperti takut atau enggan melihat apa yang akan dilihatnya. Dia membiarkan dirinya berkesimpulan bahwasanya dirinya telah ‘berpindah tempat’, dari dunia nyata menuju ke ‘dunia lain’. Dia berusaha mensugestikan pikirannya, bahwa dirinya sekarang berada di alam mimpi.

Tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh sebuah tepukan di bahu kirinya.

“Buka matamu! Kita sudah sampai di Negeri feliz,” seru Carlos yang tadi menepuk bahu Nabilah.

Perlahan Nabilah membuka matanya. Samar-samar terlihatlah apa itu yang namanya negeri feliz.

Semula di pikiran Nabilah, Negeri feliz itu seperti negeri fantasi yang hanya ada dalam dongeng, tapi ternyata semua itu tak sesuai dengan apa yang dibayangkan Nabilah. Negeri feliz bahkan terlihat kurang lebih sama saja dengan ‘dunia nyata’. Dari segi bangunan-bangunan dan perumahan-perumahannya tidak se kuno bayangan Nabilah. Negeri itu terlihat lebih maju beberapa puluh tahun daripada kerajaan-kerajaan di cerita dongeng yang hidup di abad pertengahan. Apa yang dilihat Nabilah sama sekali berbeda dengan dunia yang ada di film ‘Narnia’. Semua perkiraan Nabilah meleset. Negeri itu ternyata lumayan maju, tapi masih belum semaju di dunia nyata. Masih tertinggal beberapa puluh tahun.

Saat ini Nabilah dan Carlos berada di sebuah perbukitan. Di atas bukit itu ada pohon besar, yang sepertinya merupakan ‘portal’ menuju ke ‘dunia nyata’. Dari bukit yang dipenuhi banyak bebatuan itu, terlihat jelas di bawahnya rumah-rumah dan bangunan-bangunan di Negeri itu.Terlihat sangat kecil ketika Nabilah melihat melalui atas perbukitan.

Bentuk rumah-rumah di sana sama seperti di dunia nyata. Rumah dengan atap segitiga dan bangunan-bangunan ala Eropa yang tidak terlalu kuno. Semua bentuk bangunan itu pernah dilihat Nabilah sewaktu pelajaran Geografi di sekolah. Hanya beberapa saja yang diingatnya dari pelajaran itu, tapi dia yakin kalau itu memang bangunan-bangunan ala Eropa – lebih tepatnya negeri Spanyol.

“Di mana kita sekarang?” tanya Nabilah

“Kita berada di bukit Castille, bukit ini adalah bagian belakang dari istana. Istana ada disebelah sana,” Carlos menunjukkan arah yang berlawanan dari tebing bukit.

“Satu hal lagi, kenapa di sini siang hari. Tadi di duniaku masih malam hari kan?” Nabilah kembali heran. Kali ini perbedaan waktu yang membuatnya bingung.

“Haha, perlu kau ketahui, perbedaan waktu antara dunia ini dengan dunia mu adalah sekitar 24 jam. Kalau di sini siang, maka di sana malam. Begitu pula sebaliknya.

“Tapi untuk suhu, keadaan penduduk dan bangunan-bangunan di sini tidak terlalu jauh berbeda dengan di duniamu. Lebih tepatnya, kalau di duniamu – negeri kami ini mendekati kultur Andalusia atau negeri Spanyol. Namun, negeri ini masih tertinggal jauh dari duniamu. Peradaban kami masih belum bisa semaju peradaban kalian. Di sini belum ada telepon genggam, pesawat, mobil, sepeda motor dan teknologi lainnya. Di sini teknologinya masih sangat sederhana.”

“Tunggu dulu, darimana kau tahu tentang teknologi kami?” potong Nabilah.  “Darimana kau tahu tentang telepon genggam, pesawat, mobil dan lain sebagainya itu? Atau mungkin kau ini sebenarnya tinggal di duniaku ya?” Nabilah semakin heran dengan apa yang diucapkan oleh pria berbadan tinggi yang berdiri di sampingnya.

“Sepertinya aku harus menceritakan suatu hal yang belum kau ketahui. Sebenarnya beberapa orang diantara kami namun tidak semuanya, bisa melihat kehidupan kalian. Dan aku salah satu yang bisa melihat situasi di duniamu, tapi tidak sampai ke hal-hal yang spesifik. Istilahnya bisa melihat secara garis besar, seperti melihat bangunan kalian, kehidupan kalian dan hiruk pikuk masyarakat kalian. Semua hal-hal yang bersifat umum itu bisa ku lihat dengan ‘mata batin’ ku.

“Tidak mengherankan bukan, kalau akulah yang diutus tuan putri untuk mengawasimu, ketika dirimu diincar oleh seseorang yang mendekatimu, Raven. Aku salah satu dari beberapa orang di negeri feliz yang bisa melihat kehidupan di dunia kalian. Aku bisa melihat situasi kalian dari sini,”
           
“Owh begitukah?” Nabilah semakin heran. “Berarti kau juga bisa melihat sekarang seperti apa keadaan di duniaku?
          
“Tentu saja. Tunggu sebentar akan aku lihat,” Carlos memejamkan matanya sejenak. Tidak lama kemudian dia membuka matanya.
          
“Sekarang di dunia mu masih malam hari. Suasana masih sangat sepi dan senyap. Tapi sepertinya sedang hujan di sana,” jelas Carlos setelah dia menggunakan ‘kemampuan’nya.
          
“Begitu ya,” jawab Nabilah singkat. Ternyata orang-orang di sini punya ‘kelebihan’ masing-masing, pikir Nabilah. Sangat mengagumkan.
          
“Boleh aku tanya satu hal?” tanya Nabilah seraya duduk di atas batu di perbukitan. Diikuti oleh Carlos yang kemudian duduk di sampingnya. Suasana menjadi lebih santai. Apalagi siang itu sangat cerah.
          
“Boleh saja. Mau tanya apa?”
          
“Ada sesuatu hal yang sedikit mengganggu pikiranku. Sesuatu yang sering diucapkan tuanmu yang bernama Pevita. Dia sering menyebutkan kata magician. Bahkan wanita yang selalu ada bersamanya – bisa dibilang pengawalnya – yang bernama Raline juga termasuk salah satunya. Magician itu apa? Sehebat apa mereka? Apakah Raven juga salah satu dari mereka? Bisakah kau jelaskan semuanya?”
          
Carlos menghela nafas panjang. Dia kemudian menjawab pertanyaan gadis manis yang ada di sampingnya itu.
          
“Hmm.. Magician ya? Jujur, Itu adalah nama yang tidak terlalu aku sukai. Nama itu membuat diriku sedikit tidak diperhitungkan. Tahukah kamu siapa diriku? Aku adalah panglima kerajaan, pemimpin banyak pasukan. Aku pandai bertarung dan juga berperang. Namun, gara-gara keberadaan magician, diriku menjadi terpinggirkan!” Carlos malah berkoar-koar mengutarakan isi hatinya. Dan sedikit kelepasan.
          
“Astaga! Ternyata kau ini adalah seorang panglima ya? Kenapa tidak terlihat ya? Panglima itu kan terlihat kuat dan berwibawa, haha,” Nabilah kembali dengan kekonyolannya seperti dengan teman-temannya. Mungkin dia merasa lebih akrab sekarang dengan pria berbadan tinggi yang sebelumnya tidak terlalu disukainya.
          
“Kau menghinaku ya?!” wajah Carlos merah padam. “Tapi kau benar juga sih. Memang tak pantas aku ini jadi panglima,” tiba-tiba saja dia mendadak pesimistis. Sungguh aneh sekali sifat pria ini pikir Nabilah, tapi sedikit lucu juga. Orangnya mudah untuk diakrabi. Tapi dia sepertinya terlalu mudah percaya dengan ucapan orang lain. Padahal usianya lebih tua beberapa tahun dari Nabilah.
          
“Haha. Aku tadi Cuma bercanda. Kalau kau memang panglima, berarti kau memang punya kemampuan yang hebat. Pastilah raja memilihmu dengan suatu alasan,” Nabilah coba menghibur Carlos. “Oh iya, kau belum menjawab pertanyaanku!”
          
“Wah makasih pujiannya. Tunggu dulu, sampai di mana tadi,” Carlos mencoba mengingat.
          
“Sampai dimana kau tidak menerima keberadaan magican,” potong Nabilah.
          
“Oh iya ya,” kali ini Carlos kembali murung tatkala mengingat hal itu.

Dia kembali menghela nafas dan memulai penjelasannya lagi.
          
“Pada dasarnya di negeri feliz ini ada beberapa ‘orang-orang spesial’ yang memiliki garis keturunan ‘penyihir’ yang hidup di masa lampau. Saat ini “penyihir’ sudah punah. Namun keturunan mereka memiliki sedikit dari ‘kemampuan’ spesial yang dimiliki para penyihir. Mereka adalah para magician yang tadi kau tanyakan,” Carlos memulai penjelasan dengan sangat detil.
          
Nabilah mengangguk. Kemudian Carlos meneruskan penjelasannya.
          
“Magician itu tidaklah sekuat dan sehebat penyihir. Namun ada beberapa dari mereka yang mendekati kekuatan penyihir. Mereka yang bergelar ‘initial E’ adalah magician terkuat yang memiliki kekuatan hampir setara leluhur mereka. Dan di Negeri ini hanya ada 1 orang yang memiliki kekuatan sehebat itu, yaitu Eden. Dan dia adalah musuh kita yang sangat sulit untuk dikalahkan. Seandainya mendiang Ezhar Al masih hidup. Mungkin dia bisa menandingi kekuatan Eden,”
          
“Begitu kuat ya Ezhar Al itu? Aku sering mendengar namanya diucapkan oleh tuanmu, Pevita,” Nabilah berusaha mengingat. “Dia itu kan kekasihnya putri Pevita, benar kan?”
          
“Iya betul sekali. Dan dia itu tewas karena membebaskan Pevita yang diculik Eden. Sebelum tewas, dia juga sempat membebaskan Raline dari pengaruh jahat Eden. Dulu Raline itu adalah bawahannya Eden – seperti halnya  Raven. Mereka berdua itu adalah murid didikan Eden. Tapi sekarang mereka berada di pihak kita. Satu keuntungan bagi kita, karena Raline dan Raven itu lumayan kuat. Julukan mereka adalah ‘initial R’,”
          
“Initial R?” tanya Nabilah heran
          
“Iya ‘initial R’,” jawab Carlos. “Mungkin aku juga perlu menjelaskan apa itu magician ‘initial R’ kepadamu, Nabilah.
          
“Magician ‘initial R’ itu ibarat kasta kedua dibawah ‘intial E’. Jadi walaupun berada setingkat di bawah Eden, kekuatan ‘initial R’ itu masih terlampau kuat bagiku. Mereka itu termasuk jajaran elite magician juga. Jumlahnya pun tidak terlalu banyak, hanya ada 4 orang di negeri ini, 2 di pihak kita, dan 2 sisanya berada di pihak musuh. 2 di pihak kita yaitu Raline dan Raven. 2 di pihak musuh bernama Rafael dan Riana.”
          
“Kalau Raven itu seperti apa kehebatannya?” Nabilah ingin mengobati rasa penasarannya. Dia teringat akan kejadian di bukit, ketika Raven terlihat sangat kuat.
          
“Sebenarnya aku sedikit malas untuk terlalu dalam membicarakan lelaki itu. Aku masih tidak terima setelah dia menghajarku kemarin,” Carlos terlihat kurang semangat. “Kau bisa melihatnya kan, sewaktu dia menghajarku. Beruntung sekali, ada Raline yang menolongku. Raline yang sangat cantik. Upss,” wajah Carlos merah padam. Sepertinya ucapan terakhirnya itu kelepasan.
          
“Cie ciee. Pengagum Raline ya? Pantas saja pas dia mengobati luka-lukamu kemarin, kau terlihat kesakitan dan hampir pingsan. Jangan-jangan itu pura-pura ya, hahaha,” Nabilah menggoda Carlos dengan gaya khasnya. Lagi-lagi wajah Carlos semakin merah. Dia sangat malu gara-gara ucapannya barusan yang tak disengaja. Tapi mungkin sesuai dengan isi hatinya.
          
“Bisa kau lihat sendiri kan kekuatan Raven. Dia berhasil membuatku yang panglima kerajaan ini – menjadi babak belur,” Carlos melanjutkan pembicaraannya lagi. “Tapi, selebihnya aku tidak tahu lagi seperti apa kekuatannya. Aku hanya bisa menjelaskan perbedaan kekuatanku yang pernah bertarung dengannya.”
          
Nabilah teringat 2 hari yang lalu, ketika Raven bertarung melawan Carlos. Dan Raven menang. Terlihat jelas perbedaan kekuatan antara keduanya waktu itu.
          
“Bolehkah aku tanya satu hal lagi?” tanya Nabilah
          
“Iya? Silahkan saja,” sahut Carlos.
          
“Menurutmu, apakah Raven bisa mengalahkan Eden?” Tanya Nabilah penuh harap.
          
“Itu pertanyaan yang bodoh. Tentu saja hal itu mustahil. Mereka terpaut perbedaan ‘kasta’ yang sangat jelas terlihat. Sudah jelas ‘initial R’ takkan pernah bisa mengalahkan ‘initial E’. Bahkan kekuatan ‘initial E’ bisa setara dengan 4 orang ‘initial R’. Artinya, anggap saja keempat ‘initial R’ bekerja sama, kekuatan mereka hanya bisa mengimbangi kekuatan ‘initial E’. Masih belum cukup untuk mengalahkan ‘initial E’,”
          
“Oh begitu ya,” jawab Nabilah sedikit kecewa.
          
“Ya begitulah,” Carlos menghela nafasnya. “Sepertinya sudah saatnya kita menuju istana. Di sana akan banyak hal yang akan dibicarakan dengan tuan putri dan juga paduka raja.”
          
“Tu-tunggu dulu,” potong Nabilah. “Bukankah saat ini masih dalam masa peperangan dengan Eden? Kenapa di sini begitu damai, seperti tidak terlihat serangan ataupun agresi dari pasukan musuh?”
          
“Wah sepertinya kau belum diberitahukan tuan putri ya? Kalau negeri ini dilindungi oleh kekuatan ‘perisai’ dari liontin putih milik mendiang Ezhar Al. Kekuatan itu membuat Eden dan pasukannya tidak bisa memasuki wilayah negeri ini. Mereka berada di sisi sebelah barat yang bernama dark of feliz.

“Saat ini bisa dibilang masih dalam masa ‘gencatan senjata’. Karena kami hanya bisa bertahan, dan mereka tidak mampu masuk ke dalam wilayah negeri ini. Tapi aku tidak yakin itu akan bertahan lama. Menurut tuan putri, kekuatan ‘perisai’ itu semakin melemah. Ada kemungkinan dalam waktu dekat perang akan kembali pecah. Bisa diperkirakan pihak kami tidak akan mungkin menang. Di pihak musuh ada pasukan oscured yang sangat kuat. Selain itu mereka juga memiliki 2 ‘initial R’ yang kekuatannya mampu menghancurkan 1000 orang pasukan manusia. Sangat mustahil untuk menang dalam situasi seperti ini.

“Untuk itu kami sedang menyusun berbagai strategi. Banyak rencana yang sedang disiapkan untuk mengantisipasi kalau-kalau perang kembali pecah. Maka dari itu, sekarang kita perlu ke istana – untuk membicarakan rencana-rencana itu. Juga misi yang sudah disiapkan untuk dirimu nanti. Perlu kau diketahui, kaulah satu-satunya harapan bagi kami,” Carlos terlihat pasrah. Namun dari sorot matanya terlihat secercah harapan yang mungkin masih bisa diraih. Dan harapan itu berada dalam genggaman Nabilah.


”Seperti yang kau harapkan. Aku kesini memang untuk tujuan itu,” jawab Nabilah mantap. Keduanya langsung beranjak dari bukit nan indah menuju ke istana kerajaan.






(To be continued...)


Ditulis oleh: Jack Neptune

Baca Juga